soal poligami | Saturday, June 03, 2006
Poligami dalam Islam adalah rahmat Allah yang besar. Tapi sayangnya, sebagian orang dimasa sekarang menolaknya dengan keras. Penetrasi pemikiran (fikroh) sekuler, liberalisme dan feminisme telah mengaburkan pemahaman tentang poligami dalam Islam. Akhirnya, sebagian orang secara membabi-buta menolak poligami.
Sebelum memahami persoalan poligami, sudah sewajarnya kita mempelajari definisi, sejarah dan tujuan poligami itu sendiri. Tidak hanya pandai menolak dan gebyah-uyah mendangkalkan kebaikan yang ada pada poligami itu sendiri. Dengan pemahaman yang memadai, diharapkan dukungan dan penolakan terhadap poligami benar-benar lahir dari sebuah jawaban rasional.
Selain istilah poligami, dikenal istilah poligini. Poligini adalah menikahi wanita lebih dari satu dalam waktu bersamaan. Poligami memiliki makna yang sama dengan poligini. Perbedaannya, dalam poligami jumlah wanita yang boleh dinikahi dibatasi. Sedangkan poligini tidak membatasi jumlah wanita yang boleh dinikahi. Kebanyakan orang hanya mengenal poligami tanpa mengetahui bahwa istilah poligami hanyalah turunan dari istilah poligini. Sehingga poligini yang sering dilihatnya, dikiranya poligami. Bagi orang yang berlatar belakang pendidikan Matematika dan Hukum, mereka memandang penting perbedaan definisi ini.
Selain soal batasan jumlah wanita yang boleh dinikahi, perbedaan poligini dan poligami lebih banyak menyangkut maksud dan tujuan diberlakukannya poli-poli tersebut. Poligini muncul bertujuan untuk menyalurkan libido lelaki yang secara fitrah memang lebih besar daripada libido kaum hawa. Bukan kemauan para lelaki memiliki libido besar, tapi 'sudah dari sononya' begitu. Secara biologis, produksi sperma manusia berlangsung terus menerus tanpa henti sejak akil baligh hingga ajal menjemputnya. Sedangkan produksi ovum perempuan bisa beristirahat tiap bulannya (baca: haid/menstruasi). Bahkan perempuan memiliki masa menapause. [1]
Perempuan patut bersyukur bisa melakukan haid untuk mengeluarkan sel telurnya yang tidak dibuahi. Tanpa diniatkan dan nafsu apapun, haid akan berlangsung dengan sendirinya. Nggak ada wanita 'kebeled' haid, seperti kencing. Sedangkan lelaki hanya bisa mengeluarkan sel spermanya melalui dua cara: onani dan sex. Ada dentuman hormon, emosi dan jiwa yang memaksa sperma dikeluarkan. Jika ditahan, penyakit kelenjar prostat siap menanti. Bersyukurlah wahai wanita!
Sedangkan poligami memiliki maksud mengatasi persoalan sosial yang muncul dari poligini; yaitu kehormatan, keturunan, dan keadilan. Pertama, mengangkat kehormatan perempuan menuju perikatan suci yaitu pernikahan. Kedua, menjaga silsilah keturunan dan masa depan keturunan deri persoalaan budaya, sosial, dan ekonomi. Ketiga, menegakkan keadilan ekonomi dan biologis diantara para perempuan yang dipoligini.
Sejarah peradaban manusia diwarnai dengan praktek poligini dimana-mana. Praktek poligini dapat terjadi pada sistem sosial patrilineal (Ayah) maupun matrilineal (Nenek-Mamak). Para nabi dalam agama samawi juga mempraktekkan poligini, tetapi poligini dalam arti poligami, bukan poligini an-sich.
Hanya 2 peradaban dalam sejarah peradaban dunia yang sama sekali tidak pernah mempraktekkan poligini yaitu Romawi Kuno dan Yunani Kuno; akar dari sejarah peradaban eropa modern. Tetapi sejarah mencatat, di 2 peradaban yang menentang poligini itulah, praktek pelacuran, perzinahan dan perselingkuhan meraja lela. Monogami hanyalah praktek hukum diatas kertas. Kebutuhan sosial poligini ditoleransi dengan praktek pelacuran, perzinahan dan perselingkuhan. Disanalah wanita hanya dijadikan simbol cinta, disanjung dan dinomersatukan, tanpa diperhatikan harga dirinya.
***
Poligami lebih mulia daripada poligini. Asumsi awal praktek poligami sebenarnya adalah monogami. Tapi menimbang kebutuhan sosial dan biologis manusia, ada perbaikan sistem poligini, yaitu poligami. Poligami memang hanya dikenal dalam ajaran Islam. Diluar Islam, mereka justru mempraktekkan poligini.
Inilah ayat yang menjadi dasar praktek poligami dalam Islam
Dan jika kami tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [An Nisaa: 3] Dalam ayat tersebut, Allah memberi toleransi kepada lelaki untuk menikahi wanita yang mereka senangi: dua, tiga atau empat. Ini bukan perintah, tetapi toleransi poligini yang dibatasi. Itupun masih ditambahi syarat: Adil! Jika tidak mampu adil, maka nikahi satu wanita saja.
Perdebatanpun terjadi seputar definisi 'adil'. Jika kita menggunakan definisi adil dari buah pikiran manusia, maka kesepakatan arti 'adil' tidak akan pernah tercapai [2]. Seperti bantahan orang-orang yang selalu menolak poligami dalam Islam dengan alasan: lelaki tidak akan pernah bisa adil, tapi kalau Rasul bisa! Inilah ayat yang selalu menjadi dalil para pengingkar poligami.
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An Nisaa: 129] Karena konteks pembicaraan kita adalah tentang tafsir firman Tuhan maka definisi 'adil' harus menggunakan definisi dari Tuhan, bukan manusia. Al Quran bukan ayat yang bisa dibentur-benturkan demikian. Lihatlah konteks pembicaraan Tuhan dalam kata adil di kedua ayat tersebut.
Dalam ayat yang mengijinkan poligami, Allah sedang berbicara soal harta anak yatim (materi). --Bacalah-An-Nisa-ayat-2--. Karena dikhawatirkan terjadi perbuatan memakan harta anak yatim (baca: ketidakadilan), maka Islam menghimbau untuk menikahi wanita biasa (bukan anak yatim) yang disenangi paling banyak empat. Jadi, adil dalam ayat 3 surat An Nisaa adalah adil soal material. Bagaimanapun soal material, sangat mungkin sekali terjadi keadilan --kalau-mau-adil--, karena ukurannya cukup jelas: angka matematis.
Sedangkan kata 'adil' dalam An Nisa ayat 129, "Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin...", konteksnya ada di ayat 128: yaitu sikap nusyuz (acuh tak acuh). Lebih jelasnya, maksud "... kamu tidak akan dapat berlaku adil..." adalah soal sikap/kecenderungan, yang umumnya diterima perempuan dalam bentuk perasaan hati.
Memang kita akui, tidak akan ada satupun manusia yang dapat berlaku adil jika ukurannya adalah soal hati. Ukuran hati sangatlah subjektif, sangat bergantung pada tingkat keimanan, kedewasaan, pendidikan, sikon dan latar sosial budaya. Allah tidaklah mungkin menetapkan syariatnya yang bisa ditafsirkan manusia sesuka hatinya.
Lihatlah, di ayat soal poligami, Allah menetapkan syarat adil dalam konteks adil soal meterial: nafkah. Sedangkan dalam ayat 129, Allah mengisyaratkan manusia tidak mungkin bisa adil dalam soal sikap nusyuz (acuh tak acuh/kecenderungan) sehingga membuat yang lain terkatung-katung (<-- konteks materi). Contoh simpelnya, jangan sampai istri muda dibelikan rumah dan mobil, sedangkan istri tua cukup diberi nafkah makan saja. Itu jelas perbuatan tidak adil yang melanggar ayat soal poligami (An Nisaa: 3). Tapi soal hati, wallahu alam, yang pasti kemungkinan istri tua akan merasa diacuhkan (meski belum tentu diacuhkan). Makanya Allah memberi solusi mengatasi ini dengan melarang kita melakukan kecurangan (An Nisaa: 129) yang membuat istri lainnya terkatung-katung.
Soal keadilan 'rasa', Rasulullah sekalipun nyaris kesulitan mempraktekannya. Masalahnya ini soal rasa. Tercatat dalam sejarah, bagaimana cemburunya Aisyah pada Khadijah sebagai istri yang paling dicintai Rasul. Tercatat pula dalam sejarah, bagaimana Rasulullah tersinggung saat mengetahui putrinya (baca: Fatimatuzzahra) sedih mengetahui Ali bin Abu Thalib akan menikah lagi. Sampai-sampai Rasul mengeluarkan kata-kata, "Barang siapa yang menyakiti putriku, maka ia menyakiti Rasul Allah.". Sekali lagi, ini soal perasaan. Meskipun demikian, kecintaannya kepada putrinya tidak sampai menolak poligami. Rasul tetap melakukan poligami dan mengijinkan para sahabat melakukannya.
***
Yang dewasa ini terjadi adalah praktek poligini, atau poligami yang disalahartikan. Mereka menggunakan dalil 'toleransi berpoligami' untuk menikah lagi secara bebas. Padahal untuk mengambil keputusan berpoligami, semestinya para lelaki memahami dengan baik syarat yang ditetapkan oleh Allah: Adil! Para lelaki tidak boleh cenderung pada istri yang lebih muda sehingga menimbulkan ketidakadilan ekonomi.
Konsep ketidakadilan dalam keluarga ini bukan berasal dari Islam, tapi dari negeri pendukung monogami: yaitu Eropa. Di Eropa sering terjadi ketidakadilan ekonomi dalam keluarga karena mereka memang tidak mengatur soal internal bahtera rumah tangga. Di barat, harta suami adalah miliknya sendiri, dan ia bebas memberikan kepada siapapun yang ingin dia berikan. Itulah sebabnya, wanita barat terkadang harus berjuang sendiri untuk menjaga ketahanan ekonominya, sebab lelakinya memang tidak bertanggung jawab penuh soal perekonomian keluarga.
Di barat, konsep keluarga hanya didasarkan pada konsep 'cinta'. Laksana Pangeran Cupid [3] yang mendambakan Dewi Venus [4] atau tragedi cinta St. Valentine [5]. Nyaris seluruh catatan sejarah peradaban Yunani dan Romawi Kuno dipenuhi dengan episode soal Cinta. Konsep cinta tunggal inilah yang dikemudian hari diterjemahkan dalam konsep monogami. Pernikahan bagi orang barat, bukanlah bertujuan pembentukan keluarga, tapi peresmian cinta.
Celakalah kaum muslimin yang mendewakan cinta.
Bangsa Eropa berusaha melakukan expansi konsep monogami mereka. Mereka memaksa kaum muslimin menerima konsep monogami dengan dalih ketidakadilan, gender dan feminisme. Padahal dalam Islam tidak ada persoalan gender; sementara konsep poligami dalam Islam sudah ditata dalam konsep keadilan Islam. Demi tujuannya itu, barat justru menebar frase pemikiran paling menakutkan dalam sejarah peradaban manusia: CINTA. Ratusan juta pemuda pemudi muslim terjerat senandung cinta, yang akhirnya justru malah menolak konsep yang telah disediakan Islam. Perlahan tapi pasti, mereka menjadi pendukung gerakan feminisme ala barat. Sedangkan jika ditanya soal definisi dan sejarah monogami, poligini, dan poligami, mereka bungkam. Mereka cuma menelan mentah-mentah jualan cinta orang barat.
***
Bicara soal poligami, ayah saya pernah menyuruh saya pergi ke tempat pelacuran. Disana saya dipersilakan bertanya kepada para pelacur; sukakah mereka dengan profesi mereka (baca: profesi pelacur). Jangan kaget jika mendapatkan jawaban: "Saya lebih baik dinikahi jadi istri simpanan daripada harus bergelimang dosa.". Ternyata, mereka lebih memilih jalan kehormatan: dipoligami. Tapi kita harus gigit jari, kebanyakan istri pelanggan kompleks pelacuran adalah pendukung berat monogami. "Mending suami gw jajan ajah deh daripada gw dimadu.".
Mungkin anda termasuk perempuan yang mendukung monogami dan berusaha memaksakannya dalam draft hukum UU Perkawinan Indonesia. Bersyukurlah anda telah mendapatan suami yang mencintai anda dan andapun mencintainya. Tapi janganlah sombong! Mentang-mentang anda sudah menggenggam apa yang ingin anda dambakan, lalu anda menghalangi kemungkinan orang lain mendapatkan kebahagiaan pula. Anda tidak mencintai pasangan hidup anda, tapi anda hanya mencintai diri sendiri. Cinta anda adalah cinta yang dibalut dalam ke-Aku-an(baca: Egoisme!). Ingatlah di luar sana, ada banyak wanita yang tidak seberuntung anda, hingga mereka harus merelakan dipoligami. Mereka adalah para pelacur, korban perkosaan, janda-janda miskin, dan gadis-gadis yang telat menikah. Diluar sana banyak pula wanita yang menginginkan mendapatkan kebaikan dari suami anda, wanita-wanita shalehah yang kesulitan mencari suami shaleh. Bagaimana jika anda berada diposisi mereka? Mempertahanan idealisme monogami? Sampai mati kemungkinan anda tidak mendapatkan suami yang anda dambakan.
Mungkin anda seorang lelaki yang mendukung monogami. Bersyukurlah karena istri anda masih bisa memenuhi semua kebutuhan cinta anda. Saya cuma berdoa, semoga anda benar-benar mencintai pasangan hidup anda: tidak berselingkuh, tidak berzina, dan tidak melacur. Jika anda melakukannya, tanyakan pada hati nurani anda: Apakah anda setuju dengan saya soal Poligami?
*************************
Created at 10:04 PM
*************************
Muslimah Menikah Dengan Non-muslim, Murtadkah? | Saturday, September 24, 2005
Assalamu alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil Alamin, Washshalatu Wassalamu Alaa Sayyidil Mursalin, Wa Alaa Aalihi Waashabihi Ajmain, Wa Ba`d
Wanita muslimah secara syariah diharamkan untuk menikah dengan laki-laki yang bukan muslim. Baik laki-laki itu kafir sebagai hali kitab atau sebagai pemeluk agama lainnya.
Allah SWT berfirman :
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mumin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah :221).
Perkawinan campur antar agama dalam pandangan Islam hanya dibenarkan apabila pihak laki-lakinya beragama Islam. Laki-laki muslim ini dibolehkan mempersunting wanita ahli kitab. Paling tidak itu merupakan pendapat jumhur ulama. Dan ada juga pendapat yang marjuh yang tetap tidak membolehkan hal itu.
Sedangkan bila wanita itu bukan ahli kitab (musyrik), maka haram hukumnya. Sebaliknya, wanita muslimah diharamkan secara mutlak untuk dipersunting oleh laki-laki non muslim manapun baik ahli kitab atau bukan. Kalau masalah ini semua pendapat ulama sepakat untuk mengharamkannya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah
Makanan-makanan ahli kitab adalah halal buat kamu begitu juga makananmu halal buat mereka. Perempuan-perempuan muminah yang baik (halal buat kamu) begitu juga perempuan-perempuan yang baik-baik dari orang-orang yang pernah diberi kitab sebelum kamu, apabila mereka itu kamu beri maskawin, sedang kamu kawini mereka (dengan cara yang baik) bukan berzina dan bukan kamu jadikan gundik. (al-Maidah: 5).
Jadi kalau sampai ada seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, maka pernikahan itu bathil, tidak syah dan tidak dibenarkan dalam agama Islam. Wali atau ayah kandung dari wanita itu diharamkan untuk menikahkannya dengan laki-laki non muslim. Bila ayah kandungnya nekat melakukannya, maka dia berdosa besar. Karena hukumnya adalah zina.
Jadi pernikahan itu harus ditolak karena pernikahan itu batil. Membiarkannya berarti mengakui dan merelakan sebuah kebatilan berlangsung.
Tapi status keislaman wanita itu tidak gugur, dia tetap seorang muslimah. Hanya saja secara kaca fiqih, dia dianggap berzina bila tetap bercampur dan melakukan hubungan suami istri dengan laki-laki itu. Karena secara hukum, laki-laki itu bukan suaminya dan juga bukan mahramnya.
2. Cara yang terbaik untuk memberitahukannya adalah dengan mulai memperkenalkan hukum-hukum fiqih Islam secara umum terlebih dahulu. Dan tentu saja dari yang ringan namun sangat penting. Misalnya tentang kewajiban shalat, puasa, zakat dan sendi-sendi utama Islam lainnya. Bila dari hukum dasar itu dia sudah mulai yakin dan mantap, barulah masuk kepada masalah pernikahan dan hal-hal yang lebih mendalam.
Hal itu perlu dilakukan dengan hati-hati karena masalah ini cukup berat baginya. Karena pilihannya hanya ada dua dan keduanya bukan masalah ringan. Pilihan pertama, mereka harus dipisahkan secara langsung. Istilahnya mungkin cerai meski secara fiqih hukumnya bukan cerai thalaq tapi fasakh. Pilihan kedua adalah suaminya masuk Islam. Tentu pilihan ini juga bukan masalah sederhana, karena terkait dengan status dan perpindahan agama seseorang.
Tetapi bukan tidak mungkin untuk mengadakan pendekatan kepada pihak suaminya yang ujung-ujungnya bisa mengarahkannya masuk Islam. Kalau belum dicoba, kenapa kita berpikir tidak mungkin ?
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
syariahonline.com
*****
*************************
Created at 2:07 PM
*************************
Drs. M. Thalib Penerbit: Irsyad Baitus Salam
Tuntunan untuk memulai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
BAB I CARA MEMINANG 1. Meminang Sendiri Disebutkan dalam Hadist berikut: 'Abdurrahman bin 'Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh: "Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?" Jawabnya: "Baiklah." Ujarnya: "Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi." (HR. Bukhari)
Meminang sendiri perempuan yang hendak dijadikan istri atau kepada wali atau orang tuanya merupakan salah satu cara meminang yang dibenarkan oleh syari'at Islam. Cara semacam ini halal kita praktekkan, baik kepada perempuan yang masih perawan atau yang sudah menjadi janda.
2. Meminang Oleh Orang Tua/Wali Disebutkan dalam Hadist berikut: 'Aisyah berkata: "Sesungguhnya perkawinan pada zaman jahiliyah ada 4 macam, diantaranya seperti perkawinan yang berjalan pada saat ini, yaitu seorang laki-laki datang kepada laki-laki lain (keluarganya) untuk meminang perempuan yang ada di bawah perwaliannya atau putrinya, lalu dia memberinya maskawin, kemudian (wali) menikahkan perempuan tersebut kepadanya...." (HR. Bukhari)
Tradisi orang tua atau keluarga laki-laki datang meminang kepada keluarga atau wali perempuan, yang merupakan kebiasaan yang berlaku sebelum datangnya Islam ke tengah masyarakat Arab, sudah diterima oleh Islam. Kebiasaan yang telah diterima oleh Islam berarti menjadi suatu syari'at yang dibenarkan oleh Islam.
3. Meminang Oleh Utusan Dalam Hadist berikut disebutkan: Dari Ummu Salamah, bahwa ketika Nabi saw. mengirim utusan untuk meminangnya, ia berkata: "Tidak seorangpun dari waliku yang hadir." Rosulullah saw. bersabda: "Semua walimu, baik yang tidak hadir maupun yang hadir, tidak ada yang tidak menyukai hal ini (peminangan)." (HR. Ahmad dan Nasa'i)
Peminangan bisa dilakukan oleh utusan. Seseorang bisa meminta bantuan kepada orang lain untuk meminang perempuan yang diinginkan menjadi istri bagi dirinya. Dengan bantuan utusan yang jujur dan dapat dipercaya ia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Syarat utusan yang harus dipenuhi antara lain: 1. taat beragama; 2. bersifat adil dan jujur; 3. memiliki kedewasaan dalam mempertimbangkan sesuatu; 4. tidak memiliki rasa permusuhan atau kebencian terhadap orang yang dipinang; 5. secara umum dipercaya oleh lingkungan atau masyarakatnya.
4. Meminang Oleh Pemimpin Dalam Hadist berikut disebutkan: Sahl bin Sa'ad berkata: Seorang perempuan datang kepada Nabi saw., lalu ujarnya: "Saya serahkan diriku kepadamu." Perempuan ini lama berdiri, kemudian ada seorang laki-laki berdiri, lalu berkata (kepada Rosulullah): "Wahai Rosulullah, jika Tuan tidak berminat kepadanya, nikahkanlah dia denganku." Rosulullah saw. lalu bersabda: "Aku nikahkan kamu dengannya dengan maskawin Al-Qur'an yang telah kamu hafalkan (untuk kamu ajarkan kepadanya)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Adanya tuntunan Rosulullah saw. seperti diungkapkan dalam Hadist di atas hendaknya menjadi pelajaran bagi seluruh umat Islam bahwa seorang muslim dapat meminang seorang perempuan melalui pemimpin yang dipercaya. Hal ini telah dicontohkan oleh Rosulullah sebagai perbuatan yang diridlai.
5. Meminang Langsung Kepada Calon Seperti nomor 1.
Seorang laki-laki yang menginginkan seorang perempuan untuk menjadi istrinya boleh langsung meminang perempuan bersangkutan tanpa melalui wali atau orang tuanya. Perempuan yang masih perawan boleh langsung menerima pinangan laki-laki yang menginginkannya atau boleh juga melalui perantara yang menjadi wakil laki-laki tersebut.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang boleh dipinang langsung tanpa melalui wali atau orang tuanya adalah perempuan yang sudah janda, dan perempuan yang masih perawan tidak boleh.
Hadist pada nomor 4, tidak dijelaskan apakah perempuan yang dipinang oleh Nabi untuk sahabatnya itu janda atau perawan karena dia tidak ditanya oleh Nabi keadaannya. Oleh karena itu, kita berpegang pada yang pokok bahwa perempuan tersebut masih perawan. Pada pokoknya, selama tidak ada keterangan bahwa seorang perempuan telah bersuami atau janda dia dipandang sebagai perawan. Berdasarkan inilah kita menyatakan bahwa pendapat ulama hanya janda yang boleh dilamar langsung tanpa melalui wali atau orang tuanya, adalah tidak benar.
6. Meminang Kepada Orang Tua/Wali Dalam Hadist berikut disebutkan: Abu Buraidah berkata: Seorang anak gadis datang kepada Rasulullah saw., lalu berkata: "Sesungguhnya ayahku telah menikahkan diriku dengan keponakannya yang dengan perkawinanku terangkatlah beban beratnya." Rosulullah saw. lalu menyerahkan persoalan itu kepada dirinya, tetapi gadis ini kemudian berkata: "Saya benarkan tindakan ayahku itu, tetapi saya ingin menyatakan kepada kaum perempuan bahwa sebenarnya para bapak tidak memiliki kekuasaan sedikitpun (memaksakan perkawinan pada anak perempuannya)." (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Nasa'i)
Orang tua atau wali yang menerima pinangan sama sekali tidak berhak memaksa anak perempuannya untuk menerima kehendaknya. Sebab, pernikahan yang dilakukan bukan atas dasar saling suka tidak sah. Hal ini terungkap dalam Hadist berikut:
Dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman, ujarnya: Seorang perempuan datang kepada Nabi saw., lalu berkata: "Wahai Rosulullah, paman anakku telah datang melamarku, tetapi bapakku menolaknya dan ia menikahkan aku (dengan laki-laki lain), sedang aku tidak menyukainya." Ujarnya (Abu Salamah): Beliau lalu mengundang bapaknya dan menanyakan kepadanya tentang hal itu, kemudian jawabnya: "Sesungguhnya aku nikahkan dia dan tiada maksudku kepadanya kecuali demi kebaikan." Lalu Rosulullah saw. bersabda: "Tidak sah pernikahan itu. Pergilah kamu, (wahai anak perempuan), lalu menikahlah kamu dengan orang yang engkau sukai." (HR. Ibnu Abi Syaibah, Hadist shahih)
Agar tidak mengecewakan hati peminang, sebelum menyetujui pinangan seorang laki-laki, orang tua harus menanyai keinginan anaknya. Jika ternyata dia menolak, orang tua tidak boleh memaksakan berlangsungnya perkawinan antara anaknya dengan laki-laki yang meminangnya.
7. Melihat Yang Dipinang Dari Jabir bin 'Abdillah, Rosulullah saw. bersabda: "Jika seseorang dari kamu yang akan meminang seorang perempuan bisa melihat lebih dulu apa yang menjadi daya tarik untuk mengawininya, hendaklah ia melakukannya." (HR. Abu Dawud)
Dari Mughirah bin Syu'bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu Rosulullah saw. bersabda kepadanya: "Sudahkah kau melihatnya?" Jawabnya: "Belum." Sabdanya: "Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu berdua bisa hidup bersama lebih langgeng (dalam keserasian berumah tangga)." (HR. Nasa'i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Hadist hasan)
Dari Abu Hurairah, bahwa pernah seseorang sahabat meminang seorang wanita Anshar, lalu Rosulullah bersabda kepadanya: "Sudahkah engkau melihatnya?" Jawabnya: "Belum." Sabdanya: "Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata orang Anshar ada sesuatu (cacat)." (HR. Ibnu Majah)
Dari Abu Humaid As-Sa'idi, dari Nabi saw., sabdanya: "Bilamana seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan, tidak berdosa dia melihatnya, asalkan melihat itu untuk kepentingan meminang sekalipun perempuan itu sendiri tidak tahu." (HR. Ahmad)
Setelah menemukan jodoh pilihannya, seorang laki-laki seyogyanya lebih dulu melihat perempuan yang akan dipinangnya. Hal ini dimaksudkan agar ia dapat mengetahui daya tariknya, misalnya kecantikannya, yang bisa jadi merupakan salah satu faktor yang mendorongnya untuk mempersunting perempuan tersebut. Selain itu, melihat calon yang dipinang dimaksudkan agar laki-laki bersangkutan dapat mengetahui cacat atau aib perempuan tersebut yang bisa menjadi penyebab ketidaktertarikannya, sehingga ia membatalkan niatnya untuk meminang.
Melihat perempuan yang hendak dipinang oleh agama dibenarkan dan dianjurkan sebagaimana tersebut dalam Hadist-hadist di atas. Hal ini bertujuan menciptakan kebaikan, kesejahteraan, dan ketentraman hidup suami istri.
Hadist-hadist tentang melihat calon istri tidak menentukan bagian-bagian badan tertentu yang boleh dilihat. Bahkan secara umum dikatakan agar seseorang melihat bagian yang menjadi daya tarik untuk mengawininya.
Pendapat ini berdasarkan riwayat dari 'Abdul Razak dan Sa'id bin Manshur, bahwa 'Umar pernah meminang putri 'Ali yang bernama Ummu Kultsum. Ketika itu 'Ali menjawab bahwa putrinya masih kecil dan beliau berkata: "Nanti Ummu Kultsum akan saya suruh datang kepada Anda. Bilamana Anda suka, ia dapat dijadikan istri Anda." Ketika putrinya datang kepada 'Umar, 'Umar menyingkap pakaian Ummu Kultsum untuk memeriksanya. Serentak Ummu Kultsum berkata: "Seandainya Tuan bukan seorang khalifah, tentu sudah saya colok kedua matanya."
Laki-laki yang meminang boleh melihat keadaan fisik perempuan yang dipinangnya. Ia boleh melihat bagian-bagian yang menjadikannya tertarik untuk mengawininya, misalnya betis atau rambut kepalanya. Hal semacam ini tidak terlarang sebagaimana dilakukan oleh 'Umar bin Khaththab.
Melihat dan memeriksa pinangan sebaiknya dilakukan di hadapan mahramnya. Akan tetapi, bila ada hal-hal tertentu yang ingin dilihat secara pribadi dan tidak boleh disaksikan oleh mahramnya, hal ini pun boleh dilakukan sekedarnya semata-mata untuk keperluan meminang.
Jika perempuan bersangkutan menolak atau keberatan atas permintaan peminangnya untuk dilihat, peminang boleh memilih cara lain, misalnya dengan mewakilkan kepada perempuan tertentu yang dipercayainya untuk melihat bagian-bagian yang diinginkannya. Cara ini bisa diambil untuk menjaga agar perempuan tersebut tidak merasa malu dilihat langsung oleh peminangnya.
Meminang melalui utusan ini biasa dilakukan oleh Rosulullah saw. seperti tersebut dalam Hadist berikut: (Bila hendak menikahi seorang perempuan) Rosulullah saw. biasa mengutus seorang perempuan untuk memeriksa aib yang tersembunyi (padanya). Beliau bersabda kepada perempuan tersebut: "Ciumlah bau mulutnya dan baulah ketiaknya serta perhatikanlah urat kakinya." (HR. Thabarani dan Baihaqi)
Pemeriksaan bau mulut dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesehatan pernafasan dan pemeliharaan kebersihan mulut yang bersangkutan. Pemeriksaan ketiak dimasksudkan untuk mengetahui seberapa jauh pemeliharaan badannya sehingga dia tidak membiarkan bau badannya menyusahkan orang lain. Pemeriksaan urat kaki untuk mengetahui tingkat kesehatan seluruh badan. Kaki yang bengkak atau sakit menggambarkan bahwa kesehatan badannya terganggu. Selain itu, pemeriksaan urat kaki juga dimaksudkan untuk mengetahui dalam dangkalnya atau subur tidaknya rahim perempuan bersangkutan.
Dengan memastikan kebersihan mulut, kebersihan ketiak, dan kesehatan kaki, diharapkan peminang mengetahui kondisi kesehatan keseluruhan perempuan tersebut.
Dalam hal ini Imam Ghazali dalam kita Ihya' mengatakan: "Janganlah menanyakan akhlaq dan kecantikan perempuan yang akan dipinang, kecuali kepada orang-orang yang benar-benar tahu lagi jujur, yang tahu lahir dan batinnya. Ia bukan orang yang memihak kepadanya, sehingga nantinya ia akan memuji secara berlebih-lebihan; dan bukan pula orang yang benci kepadanya sehingga nanti akan menjelek-jelekkannya."
Seberapa jauh utusan ini memperoleh hak memeriksa tergantung pada pesan yang disampaikan oleh laki-laki yang bermaksud meminang.
Sebaliknya, perempuan yang diperiksa oleh utusan laki-laki yang bermaksud menjadikannya sebagai istri tidak boleh merasa terhina atau dilecehkan martabatnya.
Jika setelah mereriksa putrinya ternyata peminang membatalkan pinangannya, orang tua tidak boleh marah karena merasa terhina. Orang tua harus menerima hal tersebut karena memeriksa atau melihat pinangan adalah hak peminang yang diberikan oleh agama.
Bila setelah melihat peminang ternyata menjadi tidak tertarik, hendaklah dia diam dan tidak mengatakan apa pun kepada orang lain mengenai perempuan tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena mencela atau menyebarkan aib kepada orang lain bisa menyakitkan hatinya dan hal ini dilarang oleh agama. Boleh jadi perempuan yang tidak disenanginya akan disenangi oleh laki-laki lain.
Melihat dalam pengertian ini tidaklah khusu bagi laki-laki, tetapi juga perempuan. Perempuan berhak mengetahui keadaan laki-laki yang meminangnya guna mengetahui hal-hal yang bisa menyebabkannya tertarik sebagaimana laki-laki melihat faktor-faktor yang menyebabkan dia tertarik.
Perempuan yang ingin mengetahui seluk-beluk laki-laki yang meminangnya, baik fisik maupun keadaan pribadinya, harus melewati walinya. Dalam hal ini 'Aisyah berpesan kepada para wali agar berhati-hati melepaskan putrinya kepada laki-laki yang meminangya. Wali seharusnya meneliti keadaan laki-laki yang bersangkutan agar anknya tidak jatuh pada laki-laki yang berakhlaq buruk. 'Aisyah berkata: "Kawin berarti perbudakan. Oleh karena itu, hendaklah seseorang memperhatikan dimana ia lepaskan anak perempuannya."
Selain meneliti akhlaq peminang sebagaimana yang dipesankan oleh 'Aisyah di atas, wali pun hendaklah memperhatikan nasehat 'Umar ra. berikut: "Janganlah Anda menikahkan putri-putri Anda dengan seorang laki-laki jelek, sehingga hanya dia (laki-laki tersebut) yang merasa senang kepadanya, sedang dia (wanita) tidak menyukainya."
Jika ternyata perempuan bersangkutan tidak senang kepada laki-laki yang meminangnya, orang tua atau wali tidak boleh memaksakan kehendaknya secara sepihak, sebab bila anak perempuannya tidak senang, hal itu akan mengakibatkan penderitaan hidup bagi yang bersangkutan. Orang tua atau wali yang menyebabkan anak perempuan atau perempuan di bawah perwaliannya mengalami kesedihan dan derita akibat perkawinan yang tidak disukainya berarti berbuat dosa kepada yang bersangkutan.
Jadi, memeriksa dan meneliti peminang merupakan tanggung jawab wali demi menjaga kehormatan dan keselamatan putrinya.
Para laki-laki muslim diperbolehkan melihat calon pinangannya. Ketika melihat ini hendaklah dia menjaga akhlaq Islam, menghormati perasaan perempuan dan keluarganya, menjaga nama baik mereka, memelihara tradisi masyarakat Islam setempat, dan melihat hanya untuk keperluan meminang. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan fitnah pada dirinya dan rasa terhina pada perempuan dan keluarganya. Jadi, batas-batas syari'at tentang melihat calon yang dipinang harus tetap diperhatikan.
8. Lafadz Meminang Rasulullah saw. bersabda: "Tentu engkau sudah tahu aku ini seorang rasul Allah dan (rasul) yang terbaik serta betapa mulianya kedudukanku di kalangan bangsaku." (HR. Daraquthni. Hadist ini sanadnya terputus, karena rawi bernama Muhammad Al-Baqir bin 'Ali tidak bertemu dengan Nabi)
Dalam Hadist pada nomor 1 diterangkan bahwa 'Abdurrahman bin 'Auf meminang Ummu Hakim dengan menggunakan kata-kata "Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?" Sedangkan dalam Hadist di atas disebutkan bahwa Rosulullah menggunakan kata-kata tersirat dengan menyebutkan kemuliaan dirinya di tengah masyarakatnya.
Dari kedua contoh kata pinangan yang tersebut dalam Hadist-hadist di atas kita memperoleh keterangan bahwa Islam tidak menetapkan kata-kata tertentu untuk menyatakan pinangan. Kata-kata pinangan yang dipergunakan oleh seseorang laki-laki kepada perempuan atau keluarga yang dipinang bisa berupa kalimat atau kata-kata yang biasa digunakan di lingkungan masyarakatnya. Seseorang bisa menggunakan pantun atau pepatah petitih yang sudah menjadi tradisi yang berlaku dalam masyarakat.
Lafadz pinangan yang digunakan oleh berbagai lingkungan budaya, baik lingkungan kaum muslim maupun non-Islam, yang dimaksudkan untuk menyatakan pinangan, boleh kita pergunakan. Masyarakat Jawa boleh menggunakan kalimat atau kata-kata pinangan berbahasa Jawa. Semua kata atau kalimat itu sah digunakan selama dimaksudkan untuk menyatakan kehendak untuk meminang.
Karena Islam tidak menentukan kata-kata tertentu dalam menyampaikan pinangan, dalam hal ini berlakulah kaidah fiqih, bahwa kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat merupakan hukum bagi masyarakat bersangkutan selama tidak bertentangan dengan syari'at Islam.
Jadi, lafadz apa pun yang kita gunakan untuk menyatakan pinangan kepada perempuan atau keluarganya boleh kita pergunakan dan sah menurut syari'at Islam.
9. Tidak Menandai Pinangan Dengan Tukar Cincin Dalam Hadist berikut Rosulullah saw. bersabda: "Siapa saja yang meniru sesuatu kaum (non-Islam), dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud)
Maksudnya, orang yang meniru tradisi yang dilakukan oleh golongan di luar Islam dikatakan sebagai golongannya. Orang yang meniru hal-hal semacam itu dikategorikan sebagai orang yang melakukan perbuatan jahiliyah, sedangkan tiap-tiap perbuatan jahiliyah haram dilakukan.
Bertukar cincin bukan cara Islam dan bukan pula cara bangsa-bangsa Asia, melainkan cara bangsa Roma (Eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, tukar cincin pada mulanya bukan cara umat Kristiani, melainkan warisan kebudayaan Romawi.
Sering terjadi di tengah masyarakat kita laki-laki dan perempuan yang telah bertukar cincin bebas bergaul berduaan, pergi bersama-sama seperti suami istri, berbincang, dan bercengrama sehingga merusak tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Perbuatan semacam ini dilarang oleh Islam.
Rosulullah saw. bersabda: "Janganlah seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan hendaklah ada bersama perempuan itu mahramnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, tukar cincin biasanya dilakukan langsung oleh yang bersangkutan sehingga keduanya saling bersentuhan. Bersentuhan semacam ini juga dilarang sebagaimana disabdakan Rosulullah saw. berikut:
"Seseorang dari kamu ditikam kepalanya dengan jarum dari besi lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya." (HR. Thabarani)
Karena Islam tidak memberi tuntunan upacara peminangan, kita tidak boleh mengada-adakannya sekedar mengikuti tradisi. Bahkan meniru tradisi masyarakat nonmuslim semacam itu adalah haram. Jadi, upacara tukar cincin dan sejenisnya ketika melaksanakan pinangan harus ditinggalkan.
BAB II PEREMPUAN YANG TIDAK BOLEH DIPINANG 10. Perempuan Yang Bersuami Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa' (4) ayat 24: "Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami...."
Disebutkan dalam Hadist berikut: Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., sabdanya: "Bukanlah dari golongan kami orang yang merusak hubungan seorang perempuan dengan suaminya atau merusak hubungan seorang budak dengan pemiliknya." (HR. Abu Dawud)
Perempuan yang telah bersuami haram dipinang oleh siapa pun. Diapun haram dipisahkan dari suaminya atau dipengaruhi agar hubungannya dengan suaminya menjadi tidak baik. Orang yang merusak hubungan suami istri yang dimaksud dalam Hadist di atas bisa orang lain, bisa juga dari lingkungan keluarganya sendiri.
11. Perempuan Yang Sedang Dipinang Dari 'Uqbah bin 'Amir, Rosulullah saw. bersabda: " Orang mukmin satu dengan lainnya bersaudara. Ia tidak boleh membeli barang yang sedang dibeli saudaranya dan tidak boleh meminang pinangan saudaranya sebelum ia ditinggalkan." (HR. Ahmad dan Muslim)
Seseorang tidak dikatakan meminang perempuan pinangan saudaranya apabila: 1. peminangan semula sudah ditolak dengan terang-terangan atau dengan sindiran, atau 2. peminangan pertama belum diterima juga belum ditolak dan laki-laki pertama mengizinkannya, atau 3. laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain yang sudah meminangnya.
Seorang laki-laki diharamkan meminang perempuan yang telah menerima pinangan laki-laki lain. Jika laki-laki kedua meminang sesudah laki-laki pertama diterima, kemudian menikah, dia berarti telah melakukan perbuatan dosa. Akan tetapi, perkawinannya tetap sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang meminang tidak termasuk salah satu syarat sahnya nikah. Oleh karena itu, nikahnya tidak boleh difasakhkan (dibatalkan oleh pengadilan), sekalipun tindakan meminangnya melanggar.
Jika dia mengajukan pinangan bersama-sama atau bersamaan dengan peminang lainnya, perbuatannya diperbolehkan.
Ringkasnya, Islam melarang seorang laki-laki mengajukan pinangan terhadap perempuan yang ia ketahui telah dipinang laki-laki lain tanpa persetujuan laki-laki tersebut. Sebaliknya, perempuan yang telah menerima pinangan seseorang tidak boleh menerima pinangan orang lain sebelum membatalkan penerimaan pinangan laki-laki sebelumnya. Bila ia belum memberikan jawaban, ia boleh menerima pengajuan pinangan dari beberapa laki-laki untuk kemudian ia pilih yang terbaik dari antara mereka.
12. Perempuan Dalam Masa Iddah Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 228: "Para janda cerai hendaklah bersabar menahan diri dalam masa 3 kali bersih haidh. Mereka tidak dihalalkan merahasiakan kandungan mereka jika mereka benar-bernar beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan bekas suami mereka lebih berhak atas mereka dalam masa tersebut jika mereka mau berlaku baik. Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma'ruf. Para suami memiliki satu derajat lebih dari mereka, dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
"Dan tidaklah salah bagi kamu meminang perempuan-perempuan dengan sindiran atau kamu rahasiakan di dalam hatimu sendiri. Allah mengetahui bahwa kamu sesungguhnya akan selalu mengenang mereka, tetapi janganlah kamu mengikat janji dengan mereka secara rahasia, kecuali untuk mengatakan perkataan yang baik; dan janganlah kamu menginginkan mengikat tali perkawinan sebelum habis iddah mereka, karena itu berhati-hatilah kamu kepada-Nya...."
Islam melarang seorang laki-laki mengajukan pinangan terhadap perempuan yang masih dalam masa iddah. Mereka haram dipinang dengan terang-terangan oleh laki-laki lain dan haram pula dikawini pada masa iddahnya.
13. Perempuan Yang Sedang Ihram Dalam Hadist berikut disebutkan: Dari 'Utsman bin 'Affan ra., sesungguhnya Rosulullah saw. bersabda: "Tidak boleh orang yang ihram kawin dan dikawinkan, juga tidak boleh meminang." (HR. Muslim)
Dari ketentuan Hadist di atas, dapat diperoleh keterangan bahwa laki-laki yang hendak meminang perempuan sedang ihram harus menundanya sampai perempuan tersebut selesai ihram. Jika ternyata ia memaksakan diri meminangnya semasa ihram, dia dikatakan berbuat dosa dan pinangannya batal.
BAB III MASA PINANGAN DAN PEMBATALAN PINANGAN 14. Masa Pinangan Dalam Islam tidak ada ketentuan tentang jarak waktu atau masa pinangan dengan pernikahan. Jadi, begitu meminang, saat itu pula keduanya boleh melakukan akad nikah.
Karena jarak meminang dengan pelaksanaan pernikahan sama sekali tidak ada ketentuannya dalam Islam, kapan pun orang melakukan pernikahan setelah meminang dibenarkan. Bahkan sebaiknya pernikahan dilakukan sesegera mungkin setelah meminang. Hukum menyegerakan akad nikah setelah meminang adalah sunnah. Hal ini Rosulullah saw. sabdakan dalam Hadist berikut:
"Tiga perkara yang tidak boleh kamu tunda-tunda: shalat bila sudah tiba waktunya, jenazah bila selesai diurus, dan janda bila telah mendapatkan pasangannya yang sepadan." (HR. Tirmidzi dan Hakim, dari 'Ali)
Islam memang tidak melarang seseorang menunda perkawinannya, misalnya setahun sesudah pinangannya diterima. Akan tetapi, bila yang bersangkutan tidak dapat menjaga hal-hal yang haram, misalnya melakukan khalwat (berdua-duaan), akad nikah harus segera dilakukan. Demikianlah karena menunda masa pernikahan yang telah tiba saatnya, sedangkan yang bersangkutan tidak bisa menghindarkan perbuatan khalwat adalah tindakan tercela dan haram menurut syari'at Islam. Hal ini dijelaskan dalam Hadist dari Jabir yang menyebutkan bahwa Rosulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, janganlah sekali-kali menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai oleh mahramnya, sebab nanti yang menjadi orang ketiganya adalah setan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Agama membolehkan seorang laki-laki bertemu dengan tunangannya bila ia disertai oleh salah seorang mahramnya. Mahram ialah laki-laki yang haram kawin degan perempuan tersebut, seperti: 1. ayah; 2. saudara laki-laki sekandung; 3. saudara laki-laki seayah; 4. saudara laki-laki seibu; 5. paman dari pihak ayah; 6. paman dari pihak ibu; 7. anak laki-laki dari saudara laki-laki; 8. anak laki-laki dari saudara perempuan; 9. anak laki-laki dari anak-anaknya (cucu); 10. mertua laki-laki; dan 11. menantu laki-laki.
Jika yang menemani perempuan tersebut ibunya atau bibinya atau saudara perempuannya, laki-laki itu tetap diharamkan untuk bertemu dengan tunangannya.
15. Pembatalan Pinangan Dalam Hadist berikut Rosulullah saw. bersabda: "Sifat orang munafik itu ada tiga: apabila berkata, ia dusta; bila berjanji, ia menyalahi; dan bila dipercaya, dia khianat." (HR. Bukhari)
Peminangan merupakan langkah pendahuluan sebelum akad nikah. Pada saat meminang sering kali disertai dengan pemberian maskawin, baik seluruh atau sebagiannya, dan disertai pemberian bermacam-macam hadiah atau lainnya guna memperkokoh pertalian dan hubungan yang masih baru itu. Akan tetapi, terkadang terjadi bahwa pihak laki-laki atau perempuan atau kedua-duanya kemudian membatalkan rencana pernikahan. Bolehkan hal ini dilakukan? Apakah segala yang telah diberikan kepada perempuan yang dipinang itu harus dikembalikan?
Pembatalan pinangan berarti membatalkan perjanjian hendak melakukan akad nikah. Maksud Hadist di atas ialah bahwa membatalkan suatu perjanjian tanpa suatu alasan yang sah adalah termasuk perbuatan tercela, bahkan pelakunya dipandang sebagai orang munafik.
Peminangan sebenarnya semata-mata merupakan perjanjian hendak melakukan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi akad nikah. Seseorang yang sudah terikat pinangan boleh tetap meneruskannya hingga ke perkawinan dan boleh juga membatalkan bila ternyata hatinya tidak senang lagi.
Membatalkan pinangan ini menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, Islam tidak menjatuhkan hukuman material, sekalipun perbuatan itu dipandang tercela oleh sebagian orang.
Mahar yang telah diberikan oleh peminang kepada pinangannya berhak diminta kembali, karena mahar diberikan sebagai ganti dan imbalan perkawinan. Selama perkawinan itu belum terlaksana, pihak perempuan belum mempunyai hak sedikit pun atasnya dan ia wajib mengembalikan kepada pemiliknya.
Adapun pemberian-pemberian dan hadiah-hadiah selain mahar hukumnya sama dengan hibah. Secara hukum, hibah tidak boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian dari sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima oleh yang diberi, berarti barang itu sudah menjadi miliknya dan ia boleh menggunakan sesukanya. Bila pemberi hibah memintanya kembali, berarti ia merampas milik orang yang diberi hibah tanpa keridlaannya.
Dalam riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Nasa'i, dari Ibnu 'Abbas, Rosulullah bersabda:
"Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya."
Dalam Hadist yang diriwayatkan dari Salim, dari bapaknya, Rosulullah saw. pernah bersabda:
"Barangsiapa memberikan hibah, dia masih tetap berhak terhadap barangnya selama belum mendapatkan imbalannya." (HR. Baihaqi dan Hakim)
Hadist-hadist di atas sepintas terlihat saling bertentangang; yang satu melarang meminta kembali hibah yang telah diberikan dan yang lain membolehkannya.
Yang dimaksud Hadist pertama ialah pemberian tanpa syarat kepada yang diberi. Pemberian semacam ini jika kemudian ditarik kembali oleh perberinya hukumnya haram, kecuali pemberian ayah kepada anaknya. Yang dimaksud Hadist kedua ialah pemberian bersyarat atau pemberian dengan perjanjian bahwa yang memberi mendapat imbalan tertentu dari penerima. Jika ternyata penerima tidak memenuhi syarat semacam ini, pemberian tersebut boleh ditarik kembali.
Oleh karena itu, bila pinangan dibatalkan, yang dapat diminta kembali hanyalah mahar, sedangkan pemberian selain mahar semacam antaran (uang dan sebagainya pemberian dari pihak laki-laki kepada bakal mertua) tidak boleh diminta kembali. Antaran (Jawa: peningset) bukan termasuk hibah dengan imbalan tertentu. Meminta kembali pemberian atau antaran diperbolehkan hanya bila ketika penyerahan antaran itu ada perjanjian bahwa kalau dibatalkan, antaran dikembalikan. Akan tetapi, kalau tidak ada perjanjian, antaran tidak boleh ditarik kembali.
Pihak laki-laki atau perempuan tidak berdosa melakukan pembatalan pinangan, karena tidak ada larangan dari Islam. Bila pembatalan membuat marah calon suami atau calon istri, hal tersebut sama sekali tidak mengharamkan pembatalan pinangan, hanya hal tersebut tercela menurut adat.
Agar tidak terjadi pembatalan pinangan, upaya paling tepat dilakukan ialah menyegerakan menikah pada hari meminang sebagaimana dicontohkan oleh para sahabat Rosulullah saw.. Dengan demikian, tidak ada kesempatan untuk membatalkan pinangan.
Membatalkan pinangan tidak diharamkan oleh Islam dan menurut hukum Islam, pihak yang menerima pembatalan tidak dapat menuntut apa pun dari yang bersangkutan. Segala pemberian kepada yang dipinang tidak boleh diminta secara paksa kecuali maskawin. Selama tidak ada perjanjian untuk mengembalikan, segala macam pemberian menjadi hak penerima.
*****
*************************
Created at 2:04 PM
*************************
|
|
welcome
hello
MENU
HOME
Cinta Ku
Cinta - Al- Qur'an & Hadist
Cinta - Artikel
Cinta - Berita
Cinta - Busana & Perkawinan
Cinta - Cerita
Cinta - Doa
Cinta - Kecantikan
Cinta - Kesehatan
Cinta - Liputan Khusus
Cinta - Masakan & Minuman
Cinta - Musik
Cinta - Muslimah
Cinta - Puisi
Cinta - Rukun Iman & Islam
Links
Archieve
July 2005[x] September 2005[x] June 2006[x]
|
|