<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d7025216\x26blogName\x3dCinta+-+Busana+%26+Perkawinan\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://cintaku-bp.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://cintaku-bp.blogspot.com/\x26vt\x3d4760631192598728378', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Muslimah Menikah Dengan Non-muslim, Murtadkah? | Saturday, September 24, 2005


Assalamu alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil Alamin, Washshalatu Wassalamu Alaa Sayyidil Mursalin, Wa Alaa Aalihi Waashabihi Ajmain, Wa Ba`d

Wanita muslimah secara syariah diharamkan untuk menikah dengan laki-laki yang bukan muslim. Baik laki-laki itu kafir sebagai hali kitab atau sebagai pemeluk agama lainnya.

Allah SWT berfirman :

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mumin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah :221).

Perkawinan campur antar agama dalam pandangan Islam hanya dibenarkan apabila pihak laki-lakinya beragama Islam. Laki-laki muslim ini dibolehkan mempersunting wanita ahli kitab. Paling tidak itu merupakan pendapat jumhur ulama. Dan ada juga pendapat yang marjuh yang tetap tidak membolehkan hal itu.

Sedangkan bila wanita itu bukan ahli kitab (musyrik), maka haram hukumnya. Sebaliknya, wanita muslimah diharamkan secara mutlak untuk dipersunting oleh laki-laki non muslim manapun baik ahli kitab atau bukan. Kalau masalah ini semua pendapat ulama sepakat untuk mengharamkannya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah

Makanan-makanan ahli kitab adalah halal buat kamu begitu juga makananmu halal buat mereka. Perempuan-perempuan muminah yang baik (halal buat kamu) begitu juga perempuan-perempuan yang baik-baik dari orang-orang yang pernah diberi kitab sebelum kamu, apabila mereka itu kamu beri maskawin, sedang kamu kawini mereka (dengan cara yang baik) bukan berzina dan bukan kamu jadikan gundik. (al-Maidah: 5).

Jadi kalau sampai ada seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, maka pernikahan itu bathil, tidak syah dan tidak dibenarkan dalam agama Islam. Wali atau ayah kandung dari wanita itu diharamkan untuk menikahkannya dengan laki-laki non muslim. Bila ayah kandungnya nekat melakukannya, maka dia berdosa besar. Karena hukumnya adalah zina.

Jadi pernikahan itu harus ditolak karena pernikahan itu batil. Membiarkannya berarti mengakui dan merelakan sebuah kebatilan berlangsung.

Tapi status keislaman wanita itu tidak gugur, dia tetap seorang muslimah. Hanya saja secara kaca fiqih, dia dianggap berzina bila tetap bercampur dan melakukan hubungan suami istri dengan laki-laki itu. Karena secara hukum, laki-laki itu bukan suaminya dan juga bukan mahramnya.

2. Cara yang terbaik untuk memberitahukannya adalah dengan mulai memperkenalkan hukum-hukum fiqih Islam secara umum terlebih dahulu. Dan tentu saja dari yang ringan namun sangat penting. Misalnya tentang kewajiban shalat, puasa, zakat dan sendi-sendi utama Islam lainnya. Bila dari hukum dasar itu dia sudah mulai yakin dan mantap, barulah masuk kepada masalah pernikahan dan hal-hal yang lebih mendalam.

Hal itu perlu dilakukan dengan hati-hati karena masalah ini cukup berat baginya. Karena pilihannya hanya ada dua dan keduanya bukan masalah ringan. Pilihan pertama, mereka harus dipisahkan secara langsung. Istilahnya mungkin cerai meski secara fiqih hukumnya bukan cerai thalaq tapi fasakh. Pilihan kedua adalah suaminya masuk Islam. Tentu pilihan ini juga bukan masalah sederhana, karena terkait dengan status dan perpindahan agama seseorang.

Tetapi bukan tidak mungkin untuk mengadakan pendekatan kepada pihak suaminya yang ujung-ujungnya bisa mengarahkannya masuk Islam. Kalau belum dicoba, kenapa kita berpikir tidak mungkin ?

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

syariahonline.com

*****

*************************
Created at 2:07 PM
*************************



Drs. M. Thalib
Penerbit: Irsyad Baitus Salam


Tuntunan untuk memulai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

BAB I CARA MEMINANG
1. Meminang Sendiri
Disebutkan dalam Hadist berikut:
'Abdurrahman bin 'Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh:
"Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?" Jawabnya: "Baiklah."
Ujarnya: "Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi." (HR. Bukhari)

Meminang sendiri perempuan yang hendak dijadikan istri atau kepada
wali atau orang tuanya merupakan salah satu cara meminang yang
dibenarkan oleh syari'at Islam. Cara semacam ini halal kita
praktekkan, baik kepada perempuan yang masih perawan atau yang
sudah menjadi janda.

2. Meminang Oleh Orang Tua/Wali
Disebutkan dalam Hadist berikut:
'Aisyah berkata: "Sesungguhnya perkawinan pada zaman jahiliyah ada
4 macam, diantaranya seperti perkawinan yang berjalan pada saat
ini, yaitu seorang laki-laki datang kepada laki-laki lain
(keluarganya) untuk meminang perempuan yang ada di bawah
perwaliannya atau putrinya, lalu dia memberinya maskawin, kemudian
(wali) menikahkan perempuan tersebut kepadanya...." (HR. Bukhari)

Tradisi orang tua atau keluarga laki-laki datang meminang kepada
keluarga atau wali perempuan, yang merupakan kebiasaan yang
berlaku sebelum datangnya Islam ke tengah masyarakat Arab, sudah
diterima oleh Islam. Kebiasaan yang telah diterima oleh Islam
berarti menjadi suatu syari'at yang dibenarkan oleh Islam.

3. Meminang Oleh Utusan
Dalam Hadist berikut disebutkan:
Dari Ummu Salamah, bahwa ketika Nabi saw. mengirim utusan untuk
meminangnya, ia berkata: "Tidak seorangpun dari waliku yang
hadir." Rosulullah saw. bersabda: "Semua walimu, baik yang tidak
hadir maupun yang hadir, tidak ada yang tidak menyukai hal ini
(peminangan)." (HR. Ahmad dan Nasa'i)

Peminangan bisa dilakukan oleh utusan. Seseorang bisa meminta
bantuan kepada orang lain untuk meminang perempuan yang diinginkan
menjadi istri bagi dirinya. Dengan bantuan utusan yang jujur dan
dapat dipercaya ia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

Syarat utusan yang harus dipenuhi antara lain:
1. taat beragama;
2. bersifat adil dan jujur;
3. memiliki kedewasaan dalam mempertimbangkan sesuatu;
4. tidak memiliki rasa permusuhan atau kebencian terhadap orang
yang dipinang;
5. secara umum dipercaya oleh lingkungan atau masyarakatnya.

4. Meminang Oleh Pemimpin
Dalam Hadist berikut disebutkan:
Sahl bin Sa'ad berkata: Seorang perempuan datang kepada Nabi saw.,
lalu ujarnya: "Saya serahkan diriku kepadamu." Perempuan ini lama
berdiri, kemudian ada seorang laki-laki berdiri, lalu berkata
(kepada Rosulullah): "Wahai Rosulullah, jika Tuan tidak berminat
kepadanya, nikahkanlah dia denganku." Rosulullah saw. lalu
bersabda: "Aku nikahkan kamu dengannya dengan maskawin Al-Qur'an
yang telah kamu hafalkan (untuk kamu ajarkan kepadanya)." (HR.
Bukhari dan Muslim)

Adanya tuntunan Rosulullah saw. seperti diungkapkan dalam Hadist
di atas hendaknya menjadi pelajaran bagi seluruh umat Islam bahwa
seorang muslim dapat meminang seorang perempuan melalui pemimpin
yang dipercaya. Hal ini telah dicontohkan oleh Rosulullah sebagai
perbuatan yang diridlai.

5. Meminang Langsung Kepada Calon
Seperti nomor 1.

Seorang laki-laki yang menginginkan seorang perempuan untuk
menjadi istrinya boleh langsung meminang perempuan bersangkutan
tanpa melalui wali atau orang tuanya. Perempuan yang masih
perawan boleh langsung menerima pinangan laki-laki yang
menginginkannya atau boleh juga melalui perantara yang menjadi
wakil laki-laki tersebut.

Sebagian ulama mengatakan bahwa yang boleh dipinang langsung tanpa
melalui wali atau orang tuanya adalah perempuan yang sudah janda,
dan perempuan yang masih perawan tidak boleh.

Hadist pada nomor 4, tidak dijelaskan apakah perempuan yang
dipinang oleh Nabi untuk sahabatnya itu janda atau perawan karena
dia tidak ditanya oleh Nabi keadaannya. Oleh karena itu, kita
berpegang pada yang pokok bahwa perempuan tersebut masih perawan.
Pada pokoknya, selama tidak ada keterangan bahwa seorang
perempuan telah bersuami atau janda dia dipandang sebagai
perawan. Berdasarkan inilah kita menyatakan bahwa pendapat ulama
hanya janda yang boleh dilamar langsung tanpa melalui wali atau
orang tuanya, adalah tidak benar.

6. Meminang Kepada Orang Tua/Wali
Dalam Hadist berikut disebutkan:
Abu Buraidah berkata: Seorang anak gadis datang kepada Rasulullah
saw., lalu berkata: "Sesungguhnya ayahku telah menikahkan diriku
dengan keponakannya yang dengan perkawinanku terangkatlah beban
beratnya." Rosulullah saw. lalu menyerahkan persoalan itu kepada
dirinya, tetapi gadis ini kemudian berkata: "Saya benarkan
tindakan ayahku itu, tetapi saya ingin menyatakan kepada kaum
perempuan bahwa sebenarnya para bapak tidak memiliki kekuasaan
sedikitpun (memaksakan perkawinan pada anak perempuannya)." (HR.
Ibnu Majah, Ahmad, dan Nasa'i)

Orang tua atau wali yang menerima pinangan sama sekali tidak
berhak memaksa anak perempuannya untuk menerima kehendaknya.
Sebab, pernikahan yang dilakukan bukan atas dasar saling suka
tidak sah. Hal ini terungkap dalam Hadist berikut:

Dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman, ujarnya: Seorang perempuan
datang kepada Nabi saw., lalu berkata: "Wahai Rosulullah, paman
anakku telah datang melamarku, tetapi bapakku menolaknya dan ia
menikahkan aku (dengan laki-laki lain), sedang aku tidak
menyukainya." Ujarnya (Abu Salamah): Beliau lalu mengundang
bapaknya dan menanyakan kepadanya tentang hal itu, kemudian
jawabnya: "Sesungguhnya aku nikahkan dia dan tiada maksudku
kepadanya kecuali demi kebaikan." Lalu Rosulullah saw. bersabda:
"Tidak sah pernikahan itu. Pergilah kamu, (wahai anak perempuan),
lalu menikahlah kamu dengan orang yang engkau sukai." (HR. Ibnu
Abi Syaibah, Hadist shahih)

Agar tidak mengecewakan hati peminang, sebelum menyetujui pinangan
seorang laki-laki, orang tua harus menanyai keinginan anaknya.
Jika ternyata dia menolak, orang tua tidak boleh memaksakan
berlangsungnya perkawinan antara anaknya dengan laki-laki yang
meminangnya.

7. Melihat Yang Dipinang
Dari Jabir bin 'Abdillah, Rosulullah saw. bersabda:
"Jika seseorang dari kamu yang akan meminang seorang perempuan
bisa melihat lebih dulu apa yang menjadi daya tarik untuk
mengawininya, hendaklah ia melakukannya." (HR. Abu Dawud)

Dari Mughirah bin Syu'bah, ia pernah meminang seorang perempuan,
lalu Rosulullah saw. bersabda kepadanya:
"Sudahkah kau melihatnya?" Jawabnya: "Belum." Sabdanya: "Lihatlah
dia lebih dahulu agar nantinya kamu berdua bisa hidup bersama
lebih langgeng (dalam keserasian berumah tangga)." (HR. Nasa'i,
Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Hadist hasan)

Dari Abu Hurairah, bahwa pernah seseorang sahabat meminang seorang
wanita Anshar, lalu Rosulullah bersabda kepadanya:
"Sudahkah engkau melihatnya?" Jawabnya: "Belum." Sabdanya:
"Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata orang Anshar ada
sesuatu (cacat)." (HR. Ibnu Majah)

Dari Abu Humaid As-Sa'idi, dari Nabi saw., sabdanya:
"Bilamana seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan,
tidak berdosa dia melihatnya, asalkan melihat itu untuk
kepentingan meminang sekalipun perempuan itu sendiri tidak tahu."
(HR. Ahmad)


Setelah menemukan jodoh pilihannya, seorang laki-laki seyogyanya
lebih dulu melihat perempuan yang akan dipinangnya. Hal ini
dimaksudkan agar ia dapat mengetahui daya tariknya, misalnya
kecantikannya, yang bisa jadi merupakan salah satu faktor yang
mendorongnya untuk mempersunting perempuan tersebut. Selain itu,
melihat calon yang dipinang dimaksudkan agar laki-laki
bersangkutan dapat mengetahui cacat atau aib perempuan tersebut
yang bisa menjadi penyebab ketidaktertarikannya, sehingga ia
membatalkan niatnya untuk meminang.


Melihat perempuan yang hendak dipinang oleh agama dibenarkan dan
dianjurkan sebagaimana tersebut dalam Hadist-hadist di atas. Hal
ini bertujuan menciptakan kebaikan, kesejahteraan, dan
ketentraman hidup suami istri.

Hadist-hadist tentang melihat calon istri tidak menentukan
bagian-bagian badan tertentu yang boleh dilihat. Bahkan secara
umum dikatakan agar seseorang melihat bagian yang menjadi daya
tarik untuk mengawininya.

Pendapat ini berdasarkan riwayat dari 'Abdul Razak dan Sa'id bin
Manshur, bahwa 'Umar pernah meminang putri 'Ali yang bernama Ummu
Kultsum. Ketika itu 'Ali menjawab bahwa putrinya masih kecil dan
beliau berkata: "Nanti Ummu Kultsum akan saya suruh datang kepada
Anda. Bilamana Anda suka, ia dapat dijadikan istri Anda." Ketika
putrinya datang kepada 'Umar, 'Umar menyingkap pakaian Ummu
Kultsum untuk memeriksanya. Serentak Ummu Kultsum berkata:
"Seandainya Tuan bukan seorang khalifah, tentu sudah saya colok
kedua matanya."

Laki-laki yang meminang boleh melihat keadaan fisik perempuan yang
dipinangnya. Ia boleh melihat bagian-bagian yang menjadikannya
tertarik untuk mengawininya, misalnya betis atau rambut kepalanya.
Hal semacam ini tidak terlarang sebagaimana dilakukan oleh 'Umar
bin Khaththab.

Melihat dan memeriksa pinangan sebaiknya dilakukan di hadapan
mahramnya. Akan tetapi, bila ada hal-hal tertentu yang ingin
dilihat secara pribadi dan tidak boleh disaksikan oleh mahramnya,
hal ini pun boleh dilakukan sekedarnya semata-mata untuk keperluan
meminang.

Jika perempuan bersangkutan menolak atau keberatan atas permintaan
peminangnya untuk dilihat, peminang boleh memilih cara lain,
misalnya dengan mewakilkan kepada perempuan tertentu yang
dipercayainya untuk melihat bagian-bagian yang diinginkannya. Cara
ini bisa diambil untuk menjaga agar perempuan tersebut tidak
merasa malu dilihat langsung oleh peminangnya.

Meminang melalui utusan ini biasa dilakukan oleh Rosulullah saw.
seperti tersebut dalam Hadist berikut:
(Bila hendak menikahi seorang perempuan) Rosulullah saw. biasa
mengutus seorang perempuan untuk memeriksa aib yang tersembunyi
(padanya). Beliau bersabda kepada perempuan tersebut: "Ciumlah bau
mulutnya dan baulah ketiaknya serta perhatikanlah urat kakinya."
(HR. Thabarani dan Baihaqi)

Pemeriksaan bau mulut dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan
kesehatan pernafasan dan pemeliharaan kebersihan mulut yang
bersangkutan. Pemeriksaan ketiak dimasksudkan untuk mengetahui
seberapa jauh pemeliharaan badannya sehingga dia tidak membiarkan
bau badannya menyusahkan orang lain. Pemeriksaan urat kaki untuk
mengetahui tingkat kesehatan seluruh badan. Kaki yang bengkak atau
sakit menggambarkan bahwa kesehatan badannya terganggu. Selain
itu, pemeriksaan urat kaki juga dimaksudkan untuk mengetahui dalam
dangkalnya atau subur tidaknya rahim perempuan bersangkutan.

Dengan memastikan kebersihan mulut, kebersihan ketiak, dan
kesehatan kaki, diharapkan peminang mengetahui kondisi kesehatan
keseluruhan perempuan tersebut.

Dalam hal ini Imam Ghazali dalam kita Ihya' mengatakan: "Janganlah
menanyakan akhlaq dan kecantikan perempuan yang akan dipinang,
kecuali kepada orang-orang yang benar-benar tahu lagi jujur, yang
tahu lahir dan batinnya. Ia bukan orang yang memihak kepadanya,
sehingga nantinya ia akan memuji secara berlebih-lebihan; dan
bukan pula orang yang benci kepadanya sehingga nanti akan
menjelek-jelekkannya."

Seberapa jauh utusan ini memperoleh hak memeriksa tergantung pada
pesan yang disampaikan oleh laki-laki yang bermaksud meminang.

Sebaliknya, perempuan yang diperiksa oleh utusan laki-laki yang
bermaksud menjadikannya sebagai istri tidak boleh merasa terhina
atau dilecehkan martabatnya.

Jika setelah mereriksa putrinya ternyata peminang membatalkan
pinangannya, orang tua tidak boleh marah karena merasa terhina.
Orang tua harus menerima hal tersebut karena memeriksa atau
melihat pinangan adalah hak peminang yang diberikan oleh agama.

Bila setelah melihat peminang ternyata menjadi tidak tertarik,
hendaklah dia diam dan tidak mengatakan apa pun kepada orang lain
mengenai perempuan tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena
mencela atau menyebarkan aib kepada orang lain bisa menyakitkan
hatinya dan hal ini dilarang oleh agama. Boleh jadi perempuan yang
tidak disenanginya akan disenangi oleh laki-laki lain.

Melihat dalam pengertian ini tidaklah khusu bagi laki-laki, tetapi
juga perempuan. Perempuan berhak mengetahui keadaan laki-laki yang
meminangnya guna mengetahui hal-hal yang bisa menyebabkannya
tertarik sebagaimana laki-laki melihat faktor-faktor yang
menyebabkan dia tertarik.

Perempuan yang ingin mengetahui seluk-beluk laki-laki yang
meminangnya, baik fisik maupun keadaan pribadinya, harus melewati
walinya. Dalam hal ini 'Aisyah berpesan kepada para wali agar
berhati-hati melepaskan putrinya kepada laki-laki yang meminangya.
Wali seharusnya meneliti keadaan laki-laki yang bersangkutan agar
anknya tidak jatuh pada laki-laki yang berakhlaq buruk. 'Aisyah
berkata: "Kawin berarti perbudakan. Oleh karena itu, hendaklah
seseorang memperhatikan dimana ia lepaskan anak perempuannya."

Selain meneliti akhlaq peminang sebagaimana yang dipesankan oleh
'Aisyah di atas, wali pun hendaklah memperhatikan nasehat 'Umar
ra. berikut: "Janganlah Anda menikahkan putri-putri Anda dengan
seorang laki-laki jelek, sehingga hanya dia (laki-laki tersebut)
yang merasa senang kepadanya, sedang dia (wanita) tidak
menyukainya."

Jika ternyata perempuan bersangkutan tidak senang kepada laki-laki
yang meminangnya, orang tua atau wali tidak boleh memaksakan
kehendaknya secara sepihak, sebab bila anak perempuannya tidak
senang, hal itu akan mengakibatkan penderitaan hidup bagi yang
bersangkutan. Orang tua atau wali yang menyebabkan anak perempuan
atau perempuan di bawah perwaliannya mengalami kesedihan dan
derita akibat perkawinan yang tidak disukainya berarti berbuat
dosa kepada yang bersangkutan.

Jadi, memeriksa dan meneliti peminang merupakan tanggung jawab
wali demi menjaga kehormatan dan keselamatan putrinya.

Para laki-laki muslim diperbolehkan melihat calon pinangannya.
Ketika melihat ini hendaklah dia menjaga akhlaq Islam, menghormati
perasaan perempuan dan keluarganya, menjaga nama baik mereka,
memelihara tradisi masyarakat Islam setempat, dan melihat hanya
untuk keperluan meminang. Hal ini dimaksudkan agar tidak
menimbulkan fitnah pada dirinya dan rasa terhina pada perempuan
dan keluarganya. Jadi, batas-batas syari'at tentang melihat calon
yang dipinang harus tetap diperhatikan.


8. Lafadz Meminang
Rasulullah saw. bersabda:
"Tentu engkau sudah tahu aku ini seorang rasul Allah dan (rasul)
yang terbaik serta betapa mulianya kedudukanku di kalangan
bangsaku." (HR. Daraquthni. Hadist ini sanadnya terputus, karena
rawi bernama Muhammad Al-Baqir bin 'Ali tidak bertemu dengan Nabi)

Dalam Hadist pada nomor 1 diterangkan bahwa 'Abdurrahman bin 'Auf
meminang Ummu Hakim dengan menggunakan kata-kata "Maukah kamu
menyerahkan urusanmu kepadaku?" Sedangkan dalam Hadist di atas
disebutkan bahwa Rosulullah menggunakan kata-kata tersirat dengan
menyebutkan kemuliaan dirinya di tengah masyarakatnya.

Dari kedua contoh kata pinangan yang tersebut dalam Hadist-hadist
di atas kita memperoleh keterangan bahwa Islam tidak menetapkan
kata-kata tertentu untuk menyatakan pinangan. Kata-kata pinangan
yang dipergunakan oleh seseorang laki-laki kepada perempuan atau
keluarga yang dipinang bisa berupa kalimat atau kata-kata yang
biasa digunakan di lingkungan masyarakatnya. Seseorang bisa
menggunakan pantun atau pepatah petitih yang sudah menjadi tradisi
yang berlaku dalam masyarakat.

Lafadz pinangan yang digunakan oleh berbagai lingkungan budaya,
baik lingkungan kaum muslim maupun non-Islam, yang dimaksudkan
untuk menyatakan pinangan, boleh kita pergunakan. Masyarakat Jawa
boleh menggunakan kalimat atau kata-kata pinangan berbahasa Jawa.
Semua kata atau kalimat itu sah digunakan selama dimaksudkan untuk
menyatakan kehendak untuk meminang.

Karena Islam tidak menentukan kata-kata tertentu dalam
menyampaikan pinangan, dalam hal ini berlakulah kaidah fiqih,
bahwa kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat merupakan
hukum bagi masyarakat bersangkutan selama tidak bertentangan
dengan syari'at Islam.

Jadi, lafadz apa pun yang kita gunakan untuk menyatakan pinangan
kepada perempuan atau keluarganya boleh kita pergunakan dan sah
menurut syari'at Islam.

9. Tidak Menandai Pinangan Dengan Tukar Cincin
Dalam Hadist berikut Rosulullah saw. bersabda:
"Siapa saja yang meniru sesuatu kaum (non-Islam), dia termasuk
golongan mereka." (HR. Abu Dawud)

Maksudnya, orang yang meniru tradisi yang dilakukan oleh golongan
di luar Islam dikatakan sebagai golongannya. Orang yang meniru
hal-hal semacam itu dikategorikan sebagai orang yang melakukan
perbuatan jahiliyah, sedangkan tiap-tiap perbuatan jahiliyah haram
dilakukan.

Bertukar cincin bukan cara Islam dan bukan pula cara bangsa-bangsa
Asia, melainkan cara bangsa Roma (Eropa) yang mendapat pengesahan
dari gereja. Jadi, tukar cincin pada mulanya bukan cara umat
Kristiani, melainkan warisan kebudayaan Romawi.

Sering terjadi di tengah masyarakat kita laki-laki dan perempuan
yang telah bertukar cincin bebas bergaul berduaan, pergi
bersama-sama seperti suami istri, berbincang, dan bercengrama
sehingga merusak tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan
yang bukan mahram. Perbuatan semacam ini dilarang oleh Islam.

Rosulullah saw. bersabda:
"Janganlah seorang laki-laki bersendirian dengan seorang
perempuan, melainkan hendaklah ada bersama perempuan itu
mahramnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain itu, tukar cincin biasanya dilakukan langsung oleh yang
bersangkutan sehingga keduanya saling bersentuhan. Bersentuhan
semacam ini juga dilarang sebagaimana disabdakan Rosulullah saw.
berikut:

"Seseorang dari kamu ditikam kepalanya dengan jarum dari besi
lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya."
(HR. Thabarani)

Karena Islam tidak memberi tuntunan upacara peminangan, kita tidak
boleh mengada-adakannya sekedar mengikuti tradisi. Bahkan meniru
tradisi masyarakat nonmuslim semacam itu adalah haram. Jadi,
upacara tukar cincin dan sejenisnya ketika melaksanakan pinangan
harus ditinggalkan.


BAB II PEREMPUAN YANG TIDAK BOLEH DIPINANG
10. Perempuan Yang Bersuami
Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa' (4) ayat 24:
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami...."

Disebutkan dalam Hadist berikut:
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., sabdanya: "Bukanlah dari
golongan kami orang yang merusak hubungan seorang perempuan dengan
suaminya atau merusak hubungan seorang budak dengan pemiliknya."
(HR. Abu Dawud)

Perempuan yang telah bersuami haram dipinang oleh siapa pun.
Diapun haram dipisahkan dari suaminya atau dipengaruhi agar
hubungannya dengan suaminya menjadi tidak baik. Orang yang merusak
hubungan suami istri yang dimaksud dalam Hadist di atas bisa orang
lain, bisa juga dari lingkungan keluarganya sendiri.

11. Perempuan Yang Sedang Dipinang
Dari 'Uqbah bin 'Amir, Rosulullah saw. bersabda:
" Orang mukmin satu dengan lainnya bersaudara. Ia tidak boleh
membeli barang yang sedang dibeli saudaranya dan tidak boleh
meminang pinangan saudaranya sebelum ia ditinggalkan." (HR. Ahmad
dan Muslim)

Seseorang tidak dikatakan meminang perempuan pinangan saudaranya
apabila:
1. peminangan semula sudah ditolak dengan terang-terangan atau
dengan sindiran, atau
2. peminangan pertama belum diterima juga belum ditolak dan
laki-laki pertama mengizinkannya, atau
3. laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain yang sudah
meminangnya.

Seorang laki-laki diharamkan meminang perempuan yang telah
menerima pinangan laki-laki lain. Jika laki-laki kedua meminang
sesudah laki-laki pertama diterima, kemudian menikah, dia berarti
telah melakukan perbuatan dosa. Akan tetapi, perkawinannya tetap
sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang meminang tidak
termasuk salah satu syarat sahnya nikah. Oleh karena itu, nikahnya
tidak boleh difasakhkan (dibatalkan oleh pengadilan), sekalipun
tindakan meminangnya melanggar.

Jika dia mengajukan pinangan bersama-sama atau bersamaan dengan
peminang lainnya, perbuatannya diperbolehkan.

Ringkasnya, Islam melarang seorang laki-laki mengajukan pinangan
terhadap perempuan yang ia ketahui telah dipinang laki-laki lain
tanpa persetujuan laki-laki tersebut. Sebaliknya, perempuan yang
telah menerima pinangan seseorang tidak boleh menerima pinangan
orang lain sebelum membatalkan penerimaan pinangan laki-laki
sebelumnya. Bila ia belum memberikan jawaban, ia boleh menerima
pengajuan pinangan dari beberapa laki-laki untuk kemudian ia pilih
yang terbaik dari antara mereka.

12. Perempuan Dalam Masa Iddah
Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 228:
"Para janda cerai hendaklah bersabar menahan diri dalam masa 3
kali bersih haidh. Mereka tidak dihalalkan merahasiakan kandungan
mereka jika mereka benar-bernar beriman kepada Allah dan hari
akhirat, dan bekas suami mereka lebih berhak atas mereka dalam
masa tersebut jika mereka mau berlaku baik. Para istri mempunyai
hak seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma'ruf. Para
suami memiliki satu derajat lebih dari mereka, dan Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."

"Dan tidaklah salah bagi kamu meminang perempuan-perempuan dengan
sindiran atau kamu rahasiakan di dalam hatimu sendiri. Allah
mengetahui bahwa kamu sesungguhnya akan selalu mengenang mereka,
tetapi janganlah kamu mengikat janji dengan mereka secara rahasia,
kecuali untuk mengatakan perkataan yang baik; dan janganlah kamu
menginginkan mengikat tali perkawinan sebelum habis iddah mereka,
karena itu berhati-hatilah kamu kepada-Nya...."

Islam melarang seorang laki-laki mengajukan pinangan terhadap
perempuan yang masih dalam masa iddah. Mereka haram dipinang
dengan terang-terangan oleh laki-laki lain dan haram pula dikawini
pada masa iddahnya.

13. Perempuan Yang Sedang Ihram
Dalam Hadist berikut disebutkan:
Dari 'Utsman bin 'Affan ra., sesungguhnya Rosulullah saw.
bersabda: "Tidak boleh orang yang ihram kawin dan dikawinkan, juga
tidak boleh meminang." (HR. Muslim)

Dari ketentuan Hadist di atas, dapat diperoleh keterangan bahwa
laki-laki yang hendak meminang perempuan sedang ihram harus
menundanya sampai perempuan tersebut selesai ihram. Jika ternyata
ia memaksakan diri meminangnya semasa ihram, dia dikatakan berbuat
dosa dan pinangannya batal.

BAB III MASA PINANGAN DAN PEMBATALAN PINANGAN
14. Masa Pinangan
Dalam Islam tidak ada ketentuan tentang jarak waktu atau masa
pinangan dengan pernikahan. Jadi, begitu meminang, saat itu pula
keduanya boleh melakukan akad nikah.

Karena jarak meminang dengan pelaksanaan pernikahan sama sekali
tidak ada ketentuannya dalam Islam, kapan pun orang melakukan
pernikahan setelah meminang dibenarkan. Bahkan sebaiknya
pernikahan dilakukan sesegera mungkin setelah meminang. Hukum
menyegerakan akad nikah setelah meminang adalah sunnah. Hal ini
Rosulullah saw. sabdakan dalam Hadist berikut:

"Tiga perkara yang tidak boleh kamu tunda-tunda: shalat bila sudah
tiba waktunya, jenazah bila selesai diurus, dan janda bila telah
mendapatkan pasangannya yang sepadan." (HR. Tirmidzi dan Hakim,
dari 'Ali)

Islam memang tidak melarang seseorang menunda perkawinannya,
misalnya setahun sesudah pinangannya diterima. Akan tetapi, bila
yang bersangkutan tidak dapat menjaga hal-hal yang haram, misalnya
melakukan khalwat (berdua-duaan), akad nikah harus segera
dilakukan. Demikianlah karena menunda masa pernikahan yang telah
tiba saatnya, sedangkan yang bersangkutan tidak bisa menghindarkan
perbuatan khalwat adalah tindakan tercela dan haram menurut
syari'at Islam. Hal ini dijelaskan dalam Hadist dari Jabir yang
menyebutkan bahwa Rosulullah saw. bersabda:

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, janganlah
sekali-kali menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak
disertai oleh mahramnya, sebab nanti yang menjadi orang ketiganya
adalah setan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Agama membolehkan seorang laki-laki bertemu dengan tunangannya
bila ia disertai oleh salah seorang mahramnya. Mahram ialah
laki-laki yang haram kawin degan perempuan tersebut, seperti:
1. ayah;
2. saudara laki-laki sekandung;
3. saudara laki-laki seayah;
4. saudara laki-laki seibu;
5. paman dari pihak ayah;
6. paman dari pihak ibu;
7. anak laki-laki dari saudara laki-laki;
8. anak laki-laki dari saudara perempuan;
9. anak laki-laki dari anak-anaknya (cucu);
10. mertua laki-laki; dan
11. menantu laki-laki.

Jika yang menemani perempuan tersebut ibunya atau bibinya atau
saudara perempuannya, laki-laki itu tetap diharamkan untuk bertemu
dengan tunangannya.

15. Pembatalan Pinangan
Dalam Hadist berikut Rosulullah saw. bersabda:
"Sifat orang munafik itu ada tiga: apabila berkata, ia dusta; bila
berjanji, ia menyalahi; dan bila dipercaya, dia khianat." (HR.
Bukhari)

Peminangan merupakan langkah pendahuluan sebelum akad nikah. Pada
saat meminang sering kali disertai dengan pemberian maskawin, baik
seluruh atau sebagiannya, dan disertai pemberian bermacam-macam
hadiah atau lainnya guna memperkokoh pertalian dan hubungan yang
masih baru itu. Akan tetapi, terkadang terjadi bahwa pihak
laki-laki atau perempuan atau kedua-duanya kemudian membatalkan
rencana pernikahan. Bolehkan hal ini dilakukan? Apakah segala yang
telah diberikan kepada perempuan yang dipinang itu harus
dikembalikan?

Pembatalan pinangan berarti membatalkan perjanjian hendak
melakukan akad nikah. Maksud Hadist di atas ialah bahwa
membatalkan suatu perjanjian tanpa suatu alasan yang sah adalah
termasuk perbuatan tercela, bahkan pelakunya dipandang sebagai
orang munafik.

Peminangan sebenarnya semata-mata merupakan perjanjian hendak
melakukan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi akad nikah.
Seseorang yang sudah terikat pinangan boleh tetap meneruskannya
hingga ke perkawinan dan boleh juga membatalkan bila ternyata
hatinya tidak senang lagi.

Membatalkan pinangan ini menjadi hak masing-masing yang tadinya
telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji
dalam pinangan, Islam tidak menjatuhkan hukuman material,
sekalipun perbuatan itu dipandang tercela oleh sebagian orang.

Mahar yang telah diberikan oleh peminang kepada pinangannya berhak
diminta kembali, karena mahar diberikan sebagai ganti dan imbalan
perkawinan. Selama perkawinan itu belum terlaksana, pihak
perempuan belum mempunyai hak sedikit pun atasnya dan ia wajib
mengembalikan kepada pemiliknya.

Adapun pemberian-pemberian dan hadiah-hadiah selain mahar hukumnya
sama dengan hibah. Secara hukum, hibah tidak boleh diminta
kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat
sebagai penggantian dari sesuatu. Bila barang yang dihibahkan
telah diterima oleh yang diberi, berarti barang itu sudah menjadi
miliknya dan ia boleh menggunakan sesukanya. Bila pemberi hibah
memintanya kembali, berarti ia merampas milik orang yang diberi
hibah tanpa keridlaannya.

Dalam riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Nasa'i, dari
Ibnu 'Abbas, Rosulullah bersabda:

"Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau
menghibahkan sesuatu meminta kembali barangnya, kecuali pemberian
ayah kepada anaknya."

Dalam Hadist yang diriwayatkan dari Salim, dari bapaknya,
Rosulullah saw. pernah bersabda:

"Barangsiapa memberikan hibah, dia masih tetap berhak terhadap
barangnya selama belum mendapatkan imbalannya." (HR. Baihaqi dan
Hakim)

Hadist-hadist di atas sepintas terlihat saling bertentangang; yang
satu melarang meminta kembali hibah yang telah diberikan dan yang
lain membolehkannya.

Yang dimaksud Hadist pertama ialah pemberian tanpa syarat kepada
yang diberi. Pemberian semacam ini jika kemudian ditarik kembali
oleh perberinya hukumnya haram, kecuali pemberian ayah kepada
anaknya. Yang dimaksud Hadist kedua ialah pemberian bersyarat atau
pemberian dengan perjanjian bahwa yang memberi mendapat imbalan
tertentu dari penerima. Jika ternyata penerima tidak memenuhi
syarat semacam ini, pemberian tersebut boleh ditarik kembali.

Oleh karena itu, bila pinangan dibatalkan, yang dapat diminta
kembali hanyalah mahar, sedangkan pemberian selain mahar semacam
antaran (uang dan sebagainya pemberian dari pihak laki-laki kepada
bakal mertua) tidak boleh diminta kembali. Antaran (Jawa:
peningset) bukan termasuk hibah dengan imbalan tertentu. Meminta
kembali pemberian atau antaran diperbolehkan hanya bila ketika
penyerahan antaran itu ada perjanjian bahwa kalau dibatalkan,
antaran dikembalikan. Akan tetapi, kalau tidak ada perjanjian,
antaran tidak boleh ditarik kembali.

Pihak laki-laki atau perempuan tidak berdosa melakukan pembatalan
pinangan, karena tidak ada larangan dari Islam. Bila pembatalan
membuat marah calon suami atau calon istri, hal tersebut sama
sekali tidak mengharamkan pembatalan pinangan, hanya hal tersebut
tercela menurut adat.

Agar tidak terjadi pembatalan pinangan, upaya paling tepat
dilakukan ialah menyegerakan menikah pada hari meminang
sebagaimana dicontohkan oleh para sahabat Rosulullah saw.. Dengan
demikian, tidak ada kesempatan untuk membatalkan pinangan.

Membatalkan pinangan tidak diharamkan oleh Islam dan menurut hukum
Islam, pihak yang menerima pembatalan tidak dapat menuntut apa pun
dari yang bersangkutan. Segala pemberian kepada yang dipinang
tidak boleh diminta secara paksa kecuali maskawin. Selama tidak
ada perjanjian untuk mengembalikan, segala macam pemberian menjadi
hak penerima.

*****

*************************
Created at 2:04 PM
*************************

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini turun setelah ayat yang mengharamkan perkara yang buruk-buruk (ayat 3). Di awalnya terdapat kalimat, alyauma uhilla lakum ath-Thayyibaat (pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik). [Al-Maidah : 5]

Menurut Sayyid Quthb dalam Fii Dzillaalil Quran, kalimat itu memperkuat makna kehalalan yang disebutkan dalam ayat sebelumnya dan pada ayat ini sendiri. Tetapi fokus dari penguatan kalimat tersebut adalah yang terkait dengan masalah makanan, karena perkara halal-halam yang dibahas dalam rangkaian ayat-ayat tersebut adalah tentang jenis-jenis hewan yang boleh dimakan.

Salah satu yang boleh dimakan itu adalah hewan sembelihan kalangan yang diberi kitab (alladziina uutul kitaab) atau lazim disebut Ahlul Kitab, yakni para pemeluk agama Yahudi dan Nasrani. Dalam konteks pembahasan itulah kemudian Allah menurunkan potongan ayat ini.

Takhsis
Ibnu Katsir menceritakan, sebelum turunnya ayat ini, para shahabat tidak ada yang mau mengawini perempuan Ahlul Kitab karena taat pada perintah Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 221: "Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman". Dalam al-Qur'an surat at-Taubah ayat 30-31 Allah menegaskan, kalangan Ahlul Kitab termasuk golongan musyrik karena menjadikan sapi (Yahudi) dan Nabi Isa (Kristen) sebagai sesembahan.

Setelah turunnya ayat 5 surat al-Maidah, ada beberapa shahabat ada yang melakukannya. Mereka menganggap ayat pelarangan tersebut ditakhsis (dikhususkan) oleh ayat pembolehan ini.

Syekh Abdullah bin Baz, sejalan dengan Ibnu Taimiyah, menjelaskan makna takhsis tersebut dengan mengatakan bahwa Ahlul Kitab melakukan tindakan syirik bil fi'li (perbuatan) tapi al-Qur'an tidak menyebut mereka secara langsung sebagai musyrik bil ismi (status). Pembedaan yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 1 tersebut, didukung bunyi zhahir (eksplisit) ayat ini yang terang-terang membolehkan nikah dengan wanita Ahlul Kitab, menjadi landasan hukum dalam ilmu fiqih, bahwa menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani memang halal. Itulah kesepakatan jumhur ulama, termasuk ulama dari kalangan mufassir (ahli tafsir).

Hanya saja, agar tidak salah dalam memahami dan menerapkan hukum, perlu dipahami bahwa pembolehan itu tidak serta merta berhenti begitu saja, melainkan ada keterangan vital yang menyertainya. Yakni yang terkait dengan konteks dan status turunnya ayat serta proses dan metode penafsirannya.

Tanpa menyertai hal-hal itu, praktek menikahi wanita Ahlul Kitab menjadi tidak sah, sebab bunyi pembolehan dalam ayat itu satu paket dan terikat dengan keterangan-keterangan yang menyertainya.

Khilafah Islamiyyah sebagai Syarat
Yusuf Qaradhawi, sebagaimana Sayyid Quthb, mengemukakan, pembolehan Allah itu terkait dengan konteks keberadaan ummat Islam ketika itu yang sudah berada dalam sistem Khilafah Islamiyyah, di mana stuktur sosial budayanya sudah betul-betul terwarnai oleh nilai-nilai Islam secara kaffah. Demikian pula dengan hukum yang berlaku yakni supremasi hukum Allah Swt. Sehingga kalau pun terjadi pernikahan dengan kalangan Ahlul Kitab, mereka akan tetap berada dalam pengaruh warna Islam dalam segala aspek kehidupannya.

Penjelasan itu diperkuat dengan bunyi kalimat di awal ayat yakni al-yauma yang artinya `pada hari ini'. Penyertaan kalimat itu bukan tanpa maksud, melainkan ada tujuannya. Yakni untuk menegaskan situasi dan konteks turunnya ayat bahwa pada saat itu kondisi masyarakat Islam sudah sangat kuat. Selain itu, status ayat ini juga tidak boleh dilupakan. Qaradhawi mengatakan hukum mudah atau halal dalam ayat ini statusnya adalah sebagai hukum asal yang sifatnya global. Dengan demikian jika ayat itu akan diterapkan maka harus merujuk pada keterangan konteksnya yang bersifat khusus seperti dijelaskan di atas.

Tafsir Integral
Hukum menikahi wanita Ahlul Kitab, sebagai masalah fiqih mengambil sumber dari al-Quran dan Sunnah. Dan untuk memahami penetapan hukum itu, para ulama merujuk pada tafsir. Namun ketika menafsirkan ayat ini, kebanyakan lebih dominan menggunakan pendekatan yang disebut fiqhul ahkam, yakni memahami ayat semata-mata dari sudut pandang hukum.

Padahal dalam menetapkan suatu hukum dalam ilmu tafsir berlaku juga pendekatan yang disebut fiqhul adabil ijtima'i, yakni memahami ayat dari sudut pandang budaya dan sosial, termasuk di dalamnya fiqhud da'wah, fiqhud daulah dan fiqhus siyasah.

Pendekatan fiqhul ahkam bukan segala-galanya karena tidak semua yang boleh itu bisa dilakukan mentah-mentah begitu saja tanpa melihat kondisinya. Contohnya poligami. Hukumnya asalnya halal, tapi bisa menjadi haram kalau terjadi kezaliman atau dosa.

Demikian pula halnya dengan menikahi Ahlul Kitab. Qaradhawi, mengemukakan dari sudut pandang pendekatan ini, bahwa hal itu harus dicegah untuk menghindari berbagai mafsadah (kerusakan) dan madharat (bahaya) bagi kaum muslimin. Pandangan yang didasarkan oleh tafsir dengan pendekatan kritis itu dikemukakan dengan sejumlah persyaratan.

Pertama, wanita Ahlul Kitab yang dimaksud al-Qur'an adalah yang secara garis besar betul-betul mau beriman kepada Allah, kerasulan Nabi Muhammad, bukan yang atheis atau agnostis (tidak peduli agama) sebagaimana kebanyakan mereka.

Kedua, mereka menjaga kehormatannya (al-muhshanaatu) sesuai dengan syarat yang diminta al-Qur'an. Para mufassir mengartikan istilah itu sebagai al-haraairu, wanita merdeka (bukan budak) dan wanita yang bersih dari perbuatan zina. Konteksnya untuk saat ini adalah wanita yang menjaga kesucian diri dan auratnya. Tapi faktanya sekarang sudah jarang sekali ditemukan yang seperti itu.

Umumnya gaya hidup mereka adalah yang sudah bebas nilai. Jangankan menutup aurat, keperawanan saja sudah banyak yang dibuang-buang.

Ketiga, syarat wanita Ahlul Kitab yang dikehendaki al-Qur'an adalah yang termasuk kategori dzimmiyyah, yakni yang tunduk dalam naungan kekuasaan dan masyarakat Islam, bukan yang harbiyyah (memusuhi ummat Islam). Qaradhawi mengutip pendapat Ibnu Abas yang membedakan dua macam wanita Ahlul Kitab dan mengharamkan yang berasal dari harbiyyah.

Abu Bakar ar-Razi al-Hanafi cenderung menguatkan pendapat itu dengan mengemukakan firman Allah,

"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya" (Al-Mujadilah: 22).
Pendapat serupa diriwayatkan pula oleh Imam Syafi'i dan Ali bin Abi Thalib. Intinya adalah, Ahli Kitab yang menjadi penduduk darul Islam berbeda dengan yang bukan penduduk darul Islam. Yang boleh dinikahi adalah yang pertama.

Kenyataannya sekarang, dimana ada Yahudi dan Nasrani yang tidak memusuhi Islam dan ummatnya? Faktanya di berbagai negeri muslim mereka melakukan penindasan dan atau memurtadkan kaum Muslimin dengan program kristenisasi global mereka.

Dimana pula ada wilayah yang Islam berkuasa secara semestinya dan menundukkan Ahlul Kitab? Faktanya, mayoritas kaum Muslimin hidup di bawah sistem negara sekuler. Mereka lemah dan tidak punya kekuasaan yang berarti karena pemimpinnya, undang-undangnya, sistem sosialnya dan lain-lain bukan berasal dari Allah.

Keempat, syarat untuk perkara yang mubah adalah tidak boleh menimbulkan fitnah, kerugian dan bahaya baik buat diri sendiri (dhiraara) maupun orang lain (dharara). Perkawinan dengan Ahlul Kitab, menurut Qaradhawi bisa menimbulkan madharat.

Antara lain munculnya kebiasaan kawin campur (beda agama), karena perkawinan itu menjadi preseden (contoh) buruk bagi masyarakat, sehingga mereka mengabaikan pertimbangan agama. Akibatnya para muslimah banyak yang terhambat peluang jodohnya.

Inilah yang pernah diwasiatkan oleh Umar bin Khaththab. Diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Al-Hasan dalam kitabnya al-Atsar, ketika sampai berita kepada Umar tentang pernikahan Shahabat besar Huzhaifah Al-Yamani dengan wanita Yahudi di Madain, ia mengirim surat yang memintanya menceraikan wanita itu.

"Aku khawatir langkahmu akan diikuti oleh kaum Muslimin sehingga mereka memilih kawin dengan ahli dzimmah karena cantiknya, hal itu cukup menjadi fitnah bagi wanita Muslimah," tulis Umar. Hal yang sama dilakukannya terhadap Thalhah bin Ubaidilllah. Padahal wanita yang dinikahi adalah anak seorang pembesar Yahudi.

Larangan serupa pernah pula dilakukan oleh shahabat terkemuka Ibnu Umar dengan mengatakan, "Saya tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa."

Mengapa Allah Membolehkan?
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan ini secara pasti. Wallahua'lam bishawab. Tapi ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Pertama, Allah ingin menunjukkan bahwa tauhid adalah sesuatu yang paling utama. Sehingga agama yang masih memiliki hubungan tauhid walau cuma secara historis, diberi tempat khusus. Sebaliknya yang tidak memiliki asal tauhid tegas-tegas dilarang untuk menjalin ikatan perkawinan.

Kedua, ketentuan itu sebetulnya hanya bertujuan untuk sekedar menunjukkan toleransi dalam rangka menarik kembali Ahlul Kitab kepada tauhid yang murni. Buktinya pembolehan itu tidak berlaku bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan laki-laki mereka. Ini pemahaman yang paling otentik jika dilihat dari sikap al-Qur'an secara keseluruhan terhadap Ahlul Kitab yang mencap mereka sebagai kaum kafir.

Artinya ayat ini bukan untuk menjadikan nikah beda agama sebagai budaya karena bertentangan dengan semangat Islam yang menjadikan perkawinan sebagai sarana untuk iqomatisyari'atillah (menegakkan syari'at Allah) yang salah satu maksudnya (maqashidusysyari'ah) adalah untuk menjaga agama Islam (hifzuddin). Apalagi hal ini juga hampir jarang terjadi dan tidak populer di kalangan ulama dan ummat Islam sejak dulu. Memang ada intelektual Islam yang membolehkan Muslimah menikah dengan laki-laki Yahudi dan Nasrani bahkan antar seluruh agama, dengan memperluas cakupan makna Ahlul Kitab. Mereka beralasan Rasulullah saja menikahi seorang wanita Kristen Koptik. Tapi pendapatnya tidak berdasar, lemah dan ditolak oleh jumhur ulama karena al-Qur'an secara konsisten menggunakan istilah Ahlul Kitab hanya untuk penganut Yahudi dan Nasrani. Dalam Sirah juga tidak ada yang membenarkan tuduhan mereka.

Ketiga, ayat ini justru menunjukkan bahwa menikah dengan Muslimah adalah lebih prioritas karena kalimat sebelum pembolehan nikah campur adalah menikah dengan wanita mu'min yang menjaga kehormatannya. Itu menunjukkan bahwa masalah ini porsinya sangat kecil dan tidak terlalu penting dalam Islam.

Keempat, masalah ini erat kaitannya dengan keimanan karena ayat ini ditutup dengan ancaman bagi yang keluar dari rel iman. Artinya, dalam pernikahan, yang pertama harus diperhatikan sebelum ikatan dengan manusia adalah ikatan dengan Allah.• (Deka Kurniawan)

*) Dikutip dari Hidayatullah.com Edisi Agustus 2002

*****

*************************
Created at 1:59 PM
*************************

Kasus ini sekarang ini banyak terjadi, pasangan yg ingin menikah tetapi
beda agama (yang satunya muslim). Tersirat di benak saya fakta2 yang
saya jumpai, bahwa ada misi dakwah agama diluar Islam melalui
perkawinan. Umumnya si pria yang non muslim.

Kasus pertama, keduanya tetap pada agama masing2.
Kasus kedua, si prianya masuk Islam tapi setelah menikah dan mempunyai
anak dia balik keagamanya semula, yang terjadi malah sebaliknya bukan
hanya anak2nya saja yang ditarik tapi si istripun kadang malah pindah
menjadi murtad.

Dari kedua kasus ini akan menghasilkan generasi2 non muslim dari orang
tua yang tadinya muslim.
Wallahu'alam bagaimana nantinya kasus teman akhi Amirul, tapi sebaiknya
ini juga dijadikan bahan pertimbangan.


Ada juga komentar orang yang mengatakan bahwa ada contoh2 suami istri
yang berbeda agama tapi hidup mereka bahagia.
Bagi mereka yang tidak menomorsatukan agama dalam hidupnya (orientasinya
hanya dunia) mungkin bisa saja suami istri ini hidup bahagia tapi hanya
bahagia di dunia, yang cuma sebentar. Kebahagiaannya di akhirat sudah
hangus diganti dengan kesengsaraan karena melanggar larangan Allah
menikah dengan orang musyrik. Padahal akhiratlah kehidupan yang
sebenarnya, yang kekal abadi, tujuan dari kehidupan seorang manusia.


"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran." (QS. Al-Baqaroh :221).

Wassalam

Hanifa
Koleksi Diskusi Isnet (Oktober 1997)

*****

*************************
Created at 1:54 PM
*************************

Hukum Menikahi Wanita Ahlu Kitab
oleh : Syaikh Hasan Khalid

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat :

Jumhur (maryolitas) ulama membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahlul kitab, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

Firman Allah Subhaanahu wa Taala dalam surat al- Maidah:
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (Q.S al-Maidah: 5)
Dan al-Qotaadah berkata tentang ayat ini: Allah Taala telah mengahalkan untuk kita dua wanita yang terjaga, yang wanita yang terjaga dari kalangan mu’min dan wanita yang terjaga dari kalangan ahlul Kitab. Wanita-wanita muslimah haram untuk laki-laki ahlul Kitab dan wanita-wanita ahlul kitab halal bagi laki-laki muslim.
Dan ayat ini sebagai pengkhususan dari ayat yang ada dalam surat al-Baqarah ayat: 221.

Hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir dari Jabir bin Abdillah: Kami menikahi wanita-wanita ahlul Kitab dan laki-laki ahlul Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami.

Karena Ahul Kitab merupakan golongan tersendiri dari orang-orang musyrik dan orang-orang kafir. Dan dengan kesyirikan dan kekafiran yang mereka lakukan, tidak bisa disamakan dengan orang-orang yang pada asalanya termasuk orang-orang musyrik. Dan dasar pijakannya adalah Firman Allah dalam beberapa ayat ketika berbicara tentang orang-orang kafir menyebutkan orang-orang musyrik setelah orang-orang Ahlul Kitab. Dan ungkapan seperti ini menunjukkan perbedaan mereka. Sebagaimana dalam firman-Nya:
Artinya: Orang-orang kafir yakni ahlul Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Q.S al-Bayyinah: 1)
Allah Subhaanahu wa Taala juga berfirman:
Artinya: Orang-orang kafir dari ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu..(Q.S al-Baqarah: 105)

Sebagian ulama mengaharamkan secara keras pernikahan semacam ini, dan dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:

Firman Allah Subhaanahu wa Taala:
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mumin lebih baik dari wanita musyrik..(Q.S al-Baqarah: 221)
Dan secara konteks keumuman larangan di dalam ayat ini menyangkut orang-orang penyembah berhala dan ahlul Kitab. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu wa Taala:
Artinya: Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putra Allahdan orang-orang Nashrani berkata: al-Masih itu putra Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling ?(Q.S at-Taubah: 30)

Bahwa ahlul Kitab yang di zaman sekarang tidaklah seperti ahlul Kitab di zaman Rasulullah, karena ahlul Kitab yang pada zaman sekarang ahlul Kitab akibat pemurtadan atau nenek moyang mereka secara asal bukan dari ahlil Kitab.

Dari argumentasi yang telah dipaparkan oleh dua kelompok di atas, maka pendapat yang paling kuat diantara pendapat yang ada adalah pendapat yang mengatakan bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi para wanita ahlul Kitab sebagaimana pendapat jumhur ulama. Dan hukum ini berlaku bagi setiap wanita yang perkataannya dan keyakinannya serta tuntunannya sesuai dengan perkataan dan keyakinan serta tuntunan ahlul Kitab.

Syarat Dibolehkannya Menikahi
Wanita Ahlul Kitab

Meskipun para Ulama dan ahli Fiqh dikalangan kaum muslimin mengatakan bolehnya menikahi wanita ahli kitab secara mutlak dari kalangan Yahudi dan Nashrani sebagaimana yang termaktub dalam al-Quranul Karim, namun tidak mengenyampingkan perlunya peringatan dan penjelasan bagi kaum muslimin bahkan setiap muslim yang menghendaki pernikahan semacam ini kecuali dalam kondisi tertentu seperti telah memilikin aqidah yang kuat (lurus dan benar), memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan syariatnya, senantiasa berusaha mengaplikasikannya dan membiasakannya (dalam kehidupan sehari-hari). Kalau tidak demikian maka para Ulama menganggap pernikahan yang semacam ini tidak disukai dan haram hukumnya. Hal ini dikarenakan nikahnya seorang muslim dengan wanita ahlul kitab, sementara aqidah dia tidak kuat, bodoh terhadap hukum-hukum syariat Islam, dan cenderung menyelisihi dari jalan yang benar menjadikan sebab dia binasa, juga keturunannya dan keluarnya mereka dari Islam seperti lepasnya busur panah dari sarangnya.

Maka dalam kondisi dan keadaan seperti ini para Ulama mengutamakan pernikahan seorang muslim yang seperti ini dengan wanita muslimah yang memiliki agama yang kuat, dan yang demikian berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam:

Artinya: .....pilihlah wanita yang beragama, kalau tidak niscaya kamu akan celaka. (al-Hadits).

Dan karena yang demikian juga dapat menjamin lurusnya aqidah seseorang, selamat agamanya, keluarganya bahagia, perkembangan anak-anaknya baik dalam naungan Islam.

Wallahu alam
ibnu yasin

*************************
Created at 1:41 PM
*************************

Pernikahan agama jika yg laki-laki non muslim dan yg perempuan adalah muslimah maka hukumya haram menurut semua ulama. Dan Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk dapat menguasai orang-orang beriman (An-Nisaa: 141).

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS 2:221).

Oleh sebab itu Jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim, baik itu berasal dari kaum musyrik maupun ahli kitab, hukumnya bathil. Dan karena itu pernikahan tersebut tidak berakibat hukum apapun. Tidak sebagaimana halnya nikah yang shohih/sah. Sedangkan pernikahan yang sah mempunyai akibat-akibat hukum tertentu. Sedangkan hubungan badan yg dilakukan adalah sederajat dg zina. Di samping itu pernikahan tersebut tidak dapat menjadi sebab untuk saling mewarisi baik antar suami istri tersebut, maupun anak-anak mereka.

Adapun jika sebaliknya, laki-laki muslim dan wanitanya non muslimah maka ada dua kategori :

1.Kalau wanita tersebut tidak termasuk ahli kitab maka haram.

2.Kalau wanita itu termasuk ahli kitab dan dalam pelaksanaannya mengikuti aturan Islam maka boleh pernikahan tersebut dijalankan, namun ada pebedaan pendapat apakah wanita ahli kitab masih ada / tidak di jaman sekarang. Apakah Yahudi dan Nasrani sekarang massih tergolong ahli kitab atau bukan. Untuk lebih detailnya silahkan anda tadabburi dan pelajari Tafsir QS 2:221.

Saran pribadi saya, kalau masih banyak wanita muslimah yg belum menikah mengapa harus mencari yg laen? Lebih baik kita mencari ibu bagi anak-anak kita yg sudah ready for use . Pilih musimah yang suddh mapan agamanya agar kita tidak kehabisan energi metarbiyahnya. Wallahu alam

Wassalamualaikum wr wb

M.Sofwan Jauhari Lc, M.Ag
http://alhikmah.com

*****

*************************
Created at 1:36 PM
*************************

KotaSantri.com : Tumbuhnya budaya kosmopolitan di berbagai kota besar di dunia telah mengakibatkan lingkup dan gerak pergaulan antar manusia menjadi lebih luas, plural dan beragam. Pergeseran nilai yang disebabkan kondisi lingkungan tersebut berlangsung dengan lebih dinamis dibandingkan era-era lampau. Pergeseran nilai ini tidak hanya terjadi pada pakem-pakem non keagamaan yang tidak dogmatis, bahkan sekat-sekat keagamaan yang relatif rapat dan tertutup untuk kompromi menjadi sasaran untuk direlevansikan.

Gejala pergeseran bahkan perubahan nilai akibat budaya kosmo yang berfokus berat pada objek material, ternyata telah menjangkiti pula kalangan umat Islam. Salah satu buahnya adalah keberanian kalangan muslimin atau muslimat untuk memilih person-person non-muslim sebagai pasangan hidup, padahal gejala ini sudah barang tentu dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari konsep mainstream yang dianut masyarakat di negara dengan penduduk mayoritas Islam seperti Indonesia, hingga tak heran menimbulkan gejolak, reaksi keras sampai kelimbungan berpikir di kalangan masyarakat sekitar.

Dalam beberapa realitas pengalaman di kota-kota besar Indonesia akhir-akhir ini, pernikahan beda agama ini banyak terjadi justru di kalangan pemuda/pemudi Islam yang intelek dan memiliki pengetahuan keislaman yang lebih mapan dari rata-rata pemahaman kebanyakan orang Islam di Indonesia, meskipun ada juga separuh dari mereka berasal dari kalangan pemuda/pemudi Islam yang tumbuh besar di lingkungan keluarga yang sekuler atau kurang intensif membangun iklim keberagamaan secara kaffah dalam keluarganya.

Karena fenomena pernikahan beda agama itu ternyata banyak dilakukan oleh mereka yang dianggap khalayak di lingkungannya memiliki pemahaman lebih mendalam terhadap Islam dibandingkan rata-rata pemahaman umat, maka diperlukan sebuah usaha dini, semacam sparring idea, untuk kembali mengemukakan konsep syariat Islam yang jernih berkenaan dengan pernikahan beda agama yang melibatkan kaum muslimin wal muslimat. Pencerahan tersebut diawali dari pengumpulan asumsi yang mendukung serta asumsi yang menentang pernikahan beda agama di kalangan umat Islam untuk kemudian dikomparasikan dengan berbagai dalil agar seterusnya terbentuk sebuah bangun pikir atau ijtihad berlandaskan naluri fitrah, sehingga masalah pernikahan beda agama bisa disikapi secara jernih dan solusional di kalangan masyarakat Islam.

****

Mereka (umat Islam) yang melakukan dan mendukung pernikahan beda agama, memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama dan prediksi optimis terhadap bakal praktik berumah-tangga yang akan mereka tempuh sebagai pasangan berbeda agama.

Dalam sebuah situs diceritakan optimisme seorang pemuda muslim yang mempersunting gadis Konghucu. Argumen yang ia kemukakan sebagai niat yang melandasi tercetusnya pernikahan itu adalah : keyakinan secara teologis bahwasanya Islam membolehkan pernikahan seorang lelaki muslim dengan wanita non-muslim. Asumsi tersebut ia sandarkan pada firman Alloh SWT dalam Surat Al-Maaidah ayat 5 yang membolehkan pria muslim menikahi seorang wanita ahlul-kitab. Pemuda muslim itu beranggapan bahwa seorang Konghucu adalah juga ahlul-kitab, karena menurut pemahamannya siapapun yang percaya kepada Tuhan dan mempunyai kitab suci sebagai pegangan mereka beragama, maka mereka termasuk kedalam kategori ahlul kitab. Argumen kedua yang dikemukakannya adalah karena ia berhasrat untuk menguji kebenaran asumsi yang berkembang di masyarakat yang mengatakan bahwa pernikahan beda agama akan memunculkan banyak konflik atau ditengarai rentan perceraian. Di akhir paparannya ia bahkan menandaskan bahwa pernikahannya adalah sebuah eksperimentasi.

Menyimak surat Al-Maaidah ayat 5 dan sebuah hadits riwayat Ibnu Jarir dimana Rasulullah SAW bersabda : Kita boleh kawin dengan perempuan-perempuan ahlul kitab, tetapi mereka tidak boleh kawin dengan perempuan-perempuan kita., secara sekilas dapat disimpulkan bahwa seorang muslimah tidak boleh menikahi pria non-muslim dan seorang pria muslim tidak boleh menikahi seorang wanita musyrik/kafir, tetapi ia boleh menikahi seorang wanita ahlul kitab. K.H. Miftah Faridl, seorang ulama besar dari kota Bandung, mencegah umat Islam untuk lekas-lekas mengambil kesimpulan dari landasan kedua dalil naqli tersebut seperti disimpulkan diatas.

Menurut K.H. Miftah Faridl, berkenaan dengan rencana pernikahan seorang muslim, maka ia perlu mempertimbangkan ayat-ayat Al-Quran yang berisi cegahan atau larangan menjadikan seseorang dari kalangan non-muslim sebagai walijah dan bithanah (teman terpercaya yang tahu akan rahasia diri); atau suami/istri yang jelas-jelas posisinya lebih tinggi dari seorang walijah atau bithanah. Al-Mukarom, K.H. Miftah Faridl merujuk surat Ali Imran ayat 118, At-Taubah ayat 16, At-Tahrim ayat 6, An-Nisa ayat 34 dan Thaha ayat : 132 untuk dicermati kembali oleh seorang pria muslim sebelum ia memutuskan untuk melakukan atau mendukung pernikahan beda agama di kalangan kaum muslimin. Adapun berkenaan dengan seorang wanita muslim, cukup dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Ibnu Jarir yang dikemukakan sebelumnya, maka haram baginya menikah dengan seorang pria non-muslim. Larangan tersebut secara logis seharusnya bisa diterima, karena jika seorang pria non-muslim menikahi seorang wanita muslim, maka posisinya sebagai kepala keluarga akan memungkinkannya untuk memaksakan Istri dan anak mengikuti akidahnya yang bukan Islam.

****

Selain beberapa pertimbangan dalil yang dikemukakan diatas, faktor yang harus dipertimbangkan kemudian adalah konsekuensi praktikal di rumah tangga. Ada kekhawatiran jika seorang pria muslim menikahi seorang wanita non-muslim, maka anak-anaknya kemudian menjadi murtad. Hal itu disebabkan karena dalam keseharian seorang Istri lebih dekat dengan anak-anaknya, sehingga lebih mudah digugu, ditiru, dan otomatis lebih berpengaruh ketimbang suami. Bila sampai terjadi anak-anak mengikuti akidah Istrinya yang non-muslim, seorang Suami dapat dianggap gagal menjaga amanah Alloh SWT yang termaktub dalam surat Thaha ayat 132 yaitu : Dan suruhlah keluargamu untuk melakukan shalat dan peliharalah pelaksanaannya.. . Hal Itu berarti pula penyimpangan dari cita-cita sakinah, mawaddah, wa rahmah sebagai objektifitas utama tiap-tiap rumah tangga yang seharusnya diidamkan seorang muslim.

Akhirnya, untuk mensikapi berbagai mudarat yang kemungkinan besar timbul menyangkut keakidahan kita sebagai muslim jika kita menempuh pernikahan beda agama, alangkah lebih baiknya kita meletakkan perkara tersebut sebagai sebuah perkara syubhat yang meragukan dan sebaiknya dihindari. Berusahalah untuk terus istiqamah berikhtiar dan berdoa jika belum diperkenankan Alloh SWT mendapatkan jodoh buat dinikahi sebagai pendamping kita dalam menjalani hidup untuk selamanya. Percayalah bahwa Alloh SWT akan memberikan jodoh yang terbaik. Dan jika kita berusaha untuk menjadi umat-Nya yang shalih, maka jodoh yang kita dapatkan tentunya adalah pasangan hidup yang shalih atau potensial dishalihkan dimata Allah SWT.
(abangedi)

*************************
Created at 1:11 PM
*************************

KAWIN KONTRAK | Tuesday, September 20, 2005


TRADISI KAUM SYI'AH

Dalam urusan nikah mut'ah Syi'ah memiliki banyak keburukan, kekejian, hal-hal yang menjijikkan dan kebodohan terhadap Islam. Mereka mengangkat nilai setiap keburukan dan meninggikan setiap yang kotor. Mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah (berupa zina) atas nama agama dan dusta terhadap para Imam. Mereka membolehkan semua yang mereka mau, mereka membiarkan nafsu tenggelam dalam kelezatan yang menipu dan kemungkaran-kemungkaran. Mut'ah adalah sebaik-baik saksi dan bukti, mereka telah menghiasi mut'ah dengan segala kesucian, keagungan dan keanggunan, hingga mereka menjadikan balasan pelakunya adalah surga Naudzubillah, mereka memperbanyak keutamaan keutamaan mut'ah dan keistimewaannya, seraya menyesatkan -sebagaimana lazimnya- orang orang yang mereka jadikan sebagai tawanan bagi ucapan-ucapan mereka yang dusta. Di antaranya ialah:

Al-Kasyani dalam tafsirnya, berbohong atas Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda, Telah datang kepadaku Jibril darl sisi Tuhanku, membawa sebuah hadiah. Kepadaku hadiah itu adalah menikmati wanita-wanita mukminah (dengan kawin kontrak). Allah belum pernah memberikan hadiah kepada para nabipun sebelumku, Ketahuilah mut'ah adalah keistimewaan yang dikhususkan oleh Allah untukku, karena keutamaanku melebihi semua para nabi terdahulu. Barangsiapa melakukan mut'ah sekali dalam umurnya, la menjadi ahli surga. Jika laki-laki dan wanita yang melakukan mut'ah berter di suatu tempat, maka satu malaikat turun kepadanya untuk menjaga hingga mereka berpisah. Apabila mereka bercengkerama maka obrolan mereka adalah berdzikir dan tasbih. Apabila yang satu memegang tangan pasangannya maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan bercucuran keluar dari jemari keduanya. Apabila yang satu mencium yang lain maka ditulis pahala mereka setiap ciuman seperti pahala haji dan umrah. Dan ditulis dalam jima' (persetubuhan) mereka, setiap syahwat dan kelezatan satu kebajikan bagaikan gunung-gunung yang menjulang ke langit. Jika mereka berdua asyik dengan mandi dan air berjatuhan, maka Allah menciptakan dengan setiap tetesan itu satu malaikat yang bertasbih dan menyucikan Allah, sedang pahala tasbih dan taqdisnya ditulis untuk keduanya hingga hari Kiamat." (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani)

Mereka juga berdusta atas nama Jafar Ash-Shadiq, alim yang menjadi lautan ilmu ini! dikatakan oleh mereka telah bersabda: Mut'ah itu adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Yang mengamalkannya, mengamalkan agama kami dan yang mengingkarinya mengingkari agama kami, bahkan ia memeluk agama selain agama kami. Dan anak dari mut'ah lebih utama dari pada anak istri yang langgeng. Dan yang mengingkari mut'ah adalah kafir murtad. (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.356)

Mereka juga berbohong atas nama Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda: 'Barangsiapa melakukan mut'ah sekali dimerdekakan sepertiganya dari api neraka, yang mut'ah dua kali dimerdekakan dua pertiganya dari api neraka dan yang melakukan mut'ah tiga kali dimerdekakan dirinya dari neraka.

Mereka menambah tingkat kejahatan dn kesesatan merea dengan meriwayatkan atas nama Rasulullah Shallallhu alaihi wasallam: "Barangsiapa melakukan mut'ah dengan seorang wanita Mukminah, maka seoloh-olah dia telah berziarah ke Ka'bah (berhaji sebanyak 70 kali).(Ujalah Hasanah Tarjamah Risalah Al Mut'ah oleh Al-Majlisi Hal.16).

Mut'ah, Rukun, Syarat dan Hukumnya

Fathullah Al-Kasyani menukil di dalam tafsirnya sebagai berikut, "Supaya diketahui bahwa rukun akad mut'ah itu ada lima: Suami, istri, mahar, pembatasan waktu (Taukit) dan shighat ijab qabul." (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.357)

Dia menjelaskan, "Bilangan pasangan mut'ah itu tidak terbatas, dan pasangan laki-laki tidak berkewajiban memberi nama, tempat tinggal, dan sandang serta tidak saling mewarisi antara suami-istri dan dua pasangan mut'ah ini. Semua ini hanya ada dalam akad nikah yang langgeng," (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.352)

Syarat-syarat Mut'ah

Perkawinan ini cukup dengan akad (teransaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut'ah) tanpa ada para saksi!

Laki-laki terbebas dari beban nafkah!

Boleh bersenang-senang (tamattu') dengan para wanita tanpa bilangan tertentu, sekalipun dengan seribu wanita!

Istri atau pasangan wanita tidak memiliki hak waris!

Tidak disyaratkan adanya ijin bapak atau wali perempuan!

Lamanya kontrak kawin mut'ah bisa beberapa detik saja atau lebih dari itu!

Wanita yang dinikmati (dimut'ah) statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak!

Abu Jafar Ath-Thusi menukil bahwa Abu Abdillah Alaihis-Salam (Imam mereka yang di anggap suci) ditanya tentang mut'ah apakah hanya dengan empat wanita?

Dia menjawab, "Tidak, juga tidak hanya tujuh puluh."

Sebagaimana dia juga pernah ditanya apakah hanya dengan empat wanita?

Dia menjawab, "Kawinlah (secara mut'ah) dengan seribu orang dari mereka karena mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya wanita sewaan."(At-Tahdzif oleh Abu Jafar Aht-Thusi, Juz III/188)

Mereka menisbatkan kepada imam keenam. yang ma'shum dia bersabda, "Tidak mengapa mengawini gadis jika dia rela tanpa ijin bapaknya." (At-Tahdzif Al-Ahkam juz VII/256)

Mereka menisbatkan kepada Jafar Ash-Shadiq, dia ditanya, "Apa yang harus, saya katakan jika saya telah berduaan dengannya?" Dia berkata, engkau cukup mengatakan ,aku mengawinimu secara mut'ah (untuk bersenang-senang saja) berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, tidak ada yang mewarisi dan tidak ada yang diwarisi, selama sekian! hari.Jika kamu mau, sekian tahun, Dan kamu sebutkan upahnya, sesuatu yang kalian sepakati sedikit atau banyak.(Al-Furu Min Al Kafi Juz V/455)

Demikianlah kawin mut'ah dalam agama Syi'ah yang dengannya mereka menipu orang-orang bodoh dari kalangan orang-orang yang awam, seraya menyihir mata mereka dengan berbagai macam atraksi sulap dan sihir serta, mengada-ada ucapan dusta, atas nama Allah dan Rasul-Nya.

Bantahan terhadap Kebolehan Mut'ah

Sesungguhnya nikah mut'ah pernah dibolehkan pada awal Islam untuk kebutuhan dan darurat waktu itu kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengharamkannya untuk selama-lamanya hingga hari Kiamat. Beliau malah mengharamkan dua kali, pertama pada waktu Perang Khaibar tahun 7 H, dan yang kedua pada Fathu Makkah, tahun 8 H.

Mereka [Syiah sendiri] meriwayatkan bahwa Ali berkata, "Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengharamkan pada Perang Khaibar daging himar jinak dan nikah mut'ah." (At-Tahdzif Juz II/186) Riwayat inipun terdapat dalam sahih Bukhari. Maka semakin jelas tentang agama mereka yang dibangun atas dasar rekayasa, ucapan mereka bertentangan satu sama lain. Maka kami membantah kalian wahai Syiah !!, dengan kitab-kitab kalian sendiri.

Ini adalah salah satu sebab yang membuat mereka berakidah taqiyah (berbohong). Padahal perlu diketahui bahwa dalam agama Syiah tidak boleh melakukan taqiyah dalam mut'ah, la taqiyyata fi al-mut'ah (tidak ada taqiyah dalam mut'ah).

Ali, Umar dan Ibnu Abbas Berlepas Diri

Kemudian, Umar tidak pernah mengatakan, "Mut'ah halal pada zaman Nabi dan saya melarangnya!" Tetapi mut'ah dulu halal dan kini Umar menegaskan dan menegakkan hukum keharamannya. Yang demikian itu karena masih ada orang yang melakukannya. Adapun dia mengisyaratkan bahwa dulu memang pernah halal, ya, akan tetapi beberapa waktu setelah itu diharamkan. Di antara yang menguatkan lagi adalah pelarangan Ali ketika menjadi khalifah.

Syi'ah tidak memiliki bukti dari Salaf Shalih kecuali dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhu, akan tetapi Ibnu abbas sendiri telah rujuk dan mencabut kembali kebolehannya kembali kepada pengharamannya, ketika di mengetahui larangan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dia (Ibnu Abbas) telah berkata : Sesungguhnya hal ini perlu saya jelaskan agar sebagian Syiah Rafidhoh tidak berhasil mengelabui sebagian kaum Muslimin. (Sunan Al-Baihaqi 318 100 ; muhammad Al-Ahdal, hal. 251-252)

Sebagaimana kitab Syiah sendiri menyebutkan keharamannya, dan Imam Syi'ah ke-enam [yang diangap suci dari kesalahan] telah berkata kepada sebagian sahabatnya : Telah aku haramkan mut'ah atas kalian berdua (Al-Furu min Al-Kafi 2 48).

Adapun dalil mereka dengan sebagian hadits-hadits yang ada pada kitab Shahih Ahlussunnah maka hadits-hadits tersebut telah dinasakh [dihapus hukumnya]. Hal ini menjadi jelas dari hadits-hadits yang datang mengharamkan setelahnya. Di antara yang menunjukkan mut'ah bukan nikah adalah mereka [syiah] memandang bahwa mut'ah boleh dengan berapa saja sekalipun seribu wanita. Ini adalah menyalahi Syariat yang hanya membolehkan [paling banyak] empat wanita.

Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi ''Asy-Syiah minhum alaihim ''

http://www30.brinkster.com

*************************
Created at 2:34 PM
*************************

Yazid bin Abdul Qadir Jawas


-------------------------------------
KATA PENGANTAR

Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi
kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak
dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai
Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama
yang memberi rahmat bagi sekalian alam.

Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai
bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana
memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya.
Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan
yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan
sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, begitu pula dengan
pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam
mengajarkannya.

Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa'at dan paling afdhal dalam
upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah
seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab
itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong untuk
mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas
kendala-kendalanya.

Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam
diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari
persilangan syar'i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan
keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin
semarak.

Melalui risalah singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan
menyelami tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa.
Anda akan diajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh
dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan
melelahkan.

Mestikah kita bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya
lantaran sebuah pernikahan ..?
Na'udzu billahi min dzalik.

Wallahu musta'an.

MUQADIMAH

Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu
menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut
tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu
lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga
ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai
ahlaq yang luhur dan sentral.

Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani
Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan
kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh
kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi,
sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat :
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka
berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?.
Allah berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui". (Al-Baqarah : 30).
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan
penting dan besar. 'Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu
perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON GHOLIIDHOO), sebagaimana firman
Allah Ta'ala.
"Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat".
(An-Nisaa' : 21).
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya
suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh
tanggung jawab.
Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap
persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan
yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta
memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai
dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci
dan detail.

Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan
yang paling sah dan benar adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah Shahih (yang
sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan
dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa
penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat
kita.

Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini,
hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah
Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan
Penyimpangan Dalam Perkawinan.

PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN

Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta'ala
cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh
manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi
penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas
fithrahnya.

Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan
untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri
kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu
perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak
menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (Ar-Ruum : 30).
A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an
dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri
manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami.
Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai
ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik
radliyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam :

"Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari
agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang
separuhnya lagi". (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).
B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan
melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik
radliyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan
yang keras". Dan beliau bersabda :

"Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku
akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari
kiamat". (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian
setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka.
Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus.
Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan
kawin selamanya .... Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
"Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi
Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian.
Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur
dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai
sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku". (Hadits Riwayat Bukhari dan
Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan
dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain
Muhammad Yusuf : "Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan
gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang
hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas
dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari
semua tanggung jawab".
Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri.
Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga
kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam
pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat
diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama
kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu
kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka
mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup
ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan
hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka
kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.

Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan
dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan
kodrat Allah Ta'ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan
membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh),
karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam
rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah,
misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila
punya istri tidak cukup ?!".

Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan
ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti
Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan
suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:

"Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui".
(An-Nur : 32).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan
sabdanya :
"Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka,
yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya
supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara
kehormatannya". (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu
Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah
radliyallahu 'anhu).
Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti
membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.
Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu pernah berkata : "Jika umurku tinggal
sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus
menemui Allah sebagai seorang bujangan". (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul
'Arus hal. 20).


TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi

Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah
fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu
dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang
amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan
berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain
sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur

Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya
ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji,
yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam
memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif
untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi
masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :

"Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan
untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan,
dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu,
maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi
dirinya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i,
Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq
(perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan
batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :

"Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim".
(Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari'at Allah. Dan
dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan
batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah
lanjutan ayat di atas :
"Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk
kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum
yang (mau) mengetahui ". (Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri
melaksanakan syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya
rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu
setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami,
maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon
pasangan yang ideal :
a. Harus Kafa'ah
b. Shalihah
a. Kafa'ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman
sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari
calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan
kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama
kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur
lewat materi saja.

Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam
perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara
kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah
tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut Islam
hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan
status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat
seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada
perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).

"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling
bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal". (Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah
satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih
berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka
meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Shahih.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah
kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian,
niscaya kamu akan celaka". (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim
4:175).
b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus
memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur'an wanita yang shalihah ialah :
"Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi
memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara
(mereka)". (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita
yang shalihah ialah :
"Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup
seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti
wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang
bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada
suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya".
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan
terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat
melahirkan generasi penerus umat.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah

Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan
berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga
adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping
ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun
termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk
sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya
: "Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap
istrinya akan mendapat pahala ?" Nabi shallallahu alaihi wa sallam
menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh
dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat
:"Ya, benar". Beliau bersabda lagi : "Begitu pula kalau mereka bersetubuh
dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !".
(Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa'i dengan
sanad yang Shahih).
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan
bani Adam, Allah berfirman :

"Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami
istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?". (An-Nahl :
72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh
anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas,
yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan
pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga
Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak
kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami,
diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri
bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke
jalan yang benar.

Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa
pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan
tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan
berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap
kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan
berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman
para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan
seperlunya :

1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang
terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain,
dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang
dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan
melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).

2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.

Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu
yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

3. Walimah
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan
dalam walimah hendaknya
diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu
sejelek-jelek makanan.

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya
mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin
tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka
ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (Hadits Shahih Riwayat Muslim
4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih,
baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam :
"Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan
jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". (Hadist Shahih
Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id
Al-Khudri).
SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB
DIHINDARKAN/DIHILANGKAN
1. Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya "Berpacaran"
terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan
individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta
kasih terhadap lawan jenisnya.

Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar
berbagai pihak untuk
menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar
saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam
berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua
insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh
menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari'at
Islam.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan
seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya". (Hadits
Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran
hukumnya haram.
2. Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini
bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)

3. Menuntut Mahar Yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak
mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam
menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.

Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang
membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat
lemah. (Lihat Irwa'ul Ghalil 6, hal. 347-348).

4. Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap
acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka
wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu
meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka
matikan dan padamkan.

Sungguh sangat ironis...!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat
istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin
kepada Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin ?". (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam,
maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka
akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
"Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi". (Ali-Imran : 85).
5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa' Wal Banin, ketika
mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa' Wal Banin
(=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.
Dari Al-Hasan, bahwa 'Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari
Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa'
Wal Banin. 'Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata :
"Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu 'alaihi
wa sallam melarang ucapan demikian". Para tamu bertanya :"Lalu apa yang
harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?".
'Aqil menjelaskan :

"Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka 'Alaiykum" (= Mudah-mudahan
Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan).
Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam". (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa'i,
Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).
Do'a yang biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ucapkan kepada
seorang mempelai ialah :
"Baarakallahu laka wa baarakaa 'alaiyka wa jama'a baiynakumaa fii khoir"
Do'a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
'Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau
mengucapkan do'a : (Baarakallahu laka wabaraka 'alaiyka wa jama'a
baiynakuma fii khoir) = Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan,
Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia
mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad
2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).
6. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang
memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita.
Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga
apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
7. Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah
musik yang hingar bingar.

KHATIMAH

Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang
diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah
(kasih sayang), Allah berfirman :

"Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram
bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa
cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". (Ar-Ruum : 21).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling
memahami kekurangan dan
kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami
tugas dan fungsinya
masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat
keridla'an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia
yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan
cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan
yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda "kemelut"
perselisihan dan percekcokan.

Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam
Al-Qur'an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam
memberikan jalan terakhir, yaitu "perceraian".

Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan
membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan,
tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam.
Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala (Ali-Imran : 19).

"Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan
keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi
orang-orang yang bertaqwa". (Al-Furqaan : 74)
Amiin.
Wallahu a'alam bish shawab.


* Judul Asli = Konsep Perkawinan Dalam Isla

*************************
Created at 2:11 PM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

July 2005[x] September 2005[x] June 2006[x]