Nikah Beda Agama ( 1 ) | Saturday, September 24, 2005
KotaSantri.com : Tumbuhnya budaya kosmopolitan di berbagai kota besar di dunia telah mengakibatkan lingkup dan gerak pergaulan antar manusia menjadi lebih luas, plural dan beragam. Pergeseran nilai yang disebabkan kondisi lingkungan tersebut berlangsung dengan lebih dinamis dibandingkan era-era lampau. Pergeseran nilai ini tidak hanya terjadi pada pakem-pakem non keagamaan yang tidak dogmatis, bahkan sekat-sekat keagamaan yang relatif rapat dan tertutup untuk kompromi menjadi sasaran untuk direlevansikan.
Gejala pergeseran bahkan perubahan nilai akibat budaya kosmo yang berfokus berat pada objek material, ternyata telah menjangkiti pula kalangan umat Islam. Salah satu buahnya adalah keberanian kalangan muslimin atau muslimat untuk memilih person-person non-muslim sebagai pasangan hidup, padahal gejala ini sudah barang tentu dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari konsep mainstream yang dianut masyarakat di negara dengan penduduk mayoritas Islam seperti Indonesia, hingga tak heran menimbulkan gejolak, reaksi keras sampai kelimbungan berpikir di kalangan masyarakat sekitar.
Dalam beberapa realitas pengalaman di kota-kota besar Indonesia akhir-akhir ini, pernikahan beda agama ini banyak terjadi justru di kalangan pemuda/pemudi Islam yang intelek dan memiliki pengetahuan keislaman yang lebih mapan dari rata-rata pemahaman kebanyakan orang Islam di Indonesia, meskipun ada juga separuh dari mereka berasal dari kalangan pemuda/pemudi Islam yang tumbuh besar di lingkungan keluarga yang sekuler atau kurang intensif membangun iklim keberagamaan secara kaffah dalam keluarganya.
Karena fenomena pernikahan beda agama itu ternyata banyak dilakukan oleh mereka yang dianggap khalayak di lingkungannya memiliki pemahaman lebih mendalam terhadap Islam dibandingkan rata-rata pemahaman umat, maka diperlukan sebuah usaha dini, semacam sparring idea, untuk kembali mengemukakan konsep syariat Islam yang jernih berkenaan dengan pernikahan beda agama yang melibatkan kaum muslimin wal muslimat. Pencerahan tersebut diawali dari pengumpulan asumsi yang mendukung serta asumsi yang menentang pernikahan beda agama di kalangan umat Islam untuk kemudian dikomparasikan dengan berbagai dalil agar seterusnya terbentuk sebuah bangun pikir atau ijtihad berlandaskan naluri fitrah, sehingga masalah pernikahan beda agama bisa disikapi secara jernih dan solusional di kalangan masyarakat Islam.
****
Mereka (umat Islam) yang melakukan dan mendukung pernikahan beda agama, memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama dan prediksi optimis terhadap bakal praktik berumah-tangga yang akan mereka tempuh sebagai pasangan berbeda agama.
Dalam sebuah situs diceritakan optimisme seorang pemuda muslim yang mempersunting gadis Konghucu. Argumen yang ia kemukakan sebagai niat yang melandasi tercetusnya pernikahan itu adalah : keyakinan secara teologis bahwasanya Islam membolehkan pernikahan seorang lelaki muslim dengan wanita non-muslim. Asumsi tersebut ia sandarkan pada firman Alloh SWT dalam Surat Al-Maaidah ayat 5 yang membolehkan pria muslim menikahi seorang wanita ahlul-kitab. Pemuda muslim itu beranggapan bahwa seorang Konghucu adalah juga ahlul-kitab, karena menurut pemahamannya siapapun yang percaya kepada Tuhan dan mempunyai kitab suci sebagai pegangan mereka beragama, maka mereka termasuk kedalam kategori ahlul kitab. Argumen kedua yang dikemukakannya adalah karena ia berhasrat untuk menguji kebenaran asumsi yang berkembang di masyarakat yang mengatakan bahwa pernikahan beda agama akan memunculkan banyak konflik atau ditengarai rentan perceraian. Di akhir paparannya ia bahkan menandaskan bahwa pernikahannya adalah sebuah eksperimentasi.
Menyimak surat Al-Maaidah ayat 5 dan sebuah hadits riwayat Ibnu Jarir dimana Rasulullah SAW bersabda : Kita boleh kawin dengan perempuan-perempuan ahlul kitab, tetapi mereka tidak boleh kawin dengan perempuan-perempuan kita., secara sekilas dapat disimpulkan bahwa seorang muslimah tidak boleh menikahi pria non-muslim dan seorang pria muslim tidak boleh menikahi seorang wanita musyrik/kafir, tetapi ia boleh menikahi seorang wanita ahlul kitab. K.H. Miftah Faridl, seorang ulama besar dari kota Bandung, mencegah umat Islam untuk lekas-lekas mengambil kesimpulan dari landasan kedua dalil naqli tersebut seperti disimpulkan diatas.
Menurut K.H. Miftah Faridl, berkenaan dengan rencana pernikahan seorang muslim, maka ia perlu mempertimbangkan ayat-ayat Al-Quran yang berisi cegahan atau larangan menjadikan seseorang dari kalangan non-muslim sebagai walijah dan bithanah (teman terpercaya yang tahu akan rahasia diri); atau suami/istri yang jelas-jelas posisinya lebih tinggi dari seorang walijah atau bithanah. Al-Mukarom, K.H. Miftah Faridl merujuk surat Ali Imran ayat 118, At-Taubah ayat 16, At-Tahrim ayat 6, An-Nisa ayat 34 dan Thaha ayat : 132 untuk dicermati kembali oleh seorang pria muslim sebelum ia memutuskan untuk melakukan atau mendukung pernikahan beda agama di kalangan kaum muslimin. Adapun berkenaan dengan seorang wanita muslim, cukup dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Ibnu Jarir yang dikemukakan sebelumnya, maka haram baginya menikah dengan seorang pria non-muslim. Larangan tersebut secara logis seharusnya bisa diterima, karena jika seorang pria non-muslim menikahi seorang wanita muslim, maka posisinya sebagai kepala keluarga akan memungkinkannya untuk memaksakan Istri dan anak mengikuti akidahnya yang bukan Islam.
****
Selain beberapa pertimbangan dalil yang dikemukakan diatas, faktor yang harus dipertimbangkan kemudian adalah konsekuensi praktikal di rumah tangga. Ada kekhawatiran jika seorang pria muslim menikahi seorang wanita non-muslim, maka anak-anaknya kemudian menjadi murtad. Hal itu disebabkan karena dalam keseharian seorang Istri lebih dekat dengan anak-anaknya, sehingga lebih mudah digugu, ditiru, dan otomatis lebih berpengaruh ketimbang suami. Bila sampai terjadi anak-anak mengikuti akidah Istrinya yang non-muslim, seorang Suami dapat dianggap gagal menjaga amanah Alloh SWT yang termaktub dalam surat Thaha ayat 132 yaitu : Dan suruhlah keluargamu untuk melakukan shalat dan peliharalah pelaksanaannya.. . Hal Itu berarti pula penyimpangan dari cita-cita sakinah, mawaddah, wa rahmah sebagai objektifitas utama tiap-tiap rumah tangga yang seharusnya diidamkan seorang muslim.
Akhirnya, untuk mensikapi berbagai mudarat yang kemungkinan besar timbul menyangkut keakidahan kita sebagai muslim jika kita menempuh pernikahan beda agama, alangkah lebih baiknya kita meletakkan perkara tersebut sebagai sebuah perkara syubhat yang meragukan dan sebaiknya dihindari. Berusahalah untuk terus istiqamah berikhtiar dan berdoa jika belum diperkenankan Alloh SWT mendapatkan jodoh buat dinikahi sebagai pendamping kita dalam menjalani hidup untuk selamanya. Percayalah bahwa Alloh SWT akan memberikan jodoh yang terbaik. Dan jika kita berusaha untuk menjadi umat-Nya yang shalih, maka jodoh yang kita dapatkan tentunya adalah pasangan hidup yang shalih atau potensial dishalihkan dimata Allah SWT. (abangedi)
*************************
Created at 1:11 PM
*************************
|
|
welcome
hello
MENU
HOME
Cinta Ku
Cinta - Al- Qur'an & Hadist
Cinta - Artikel
Cinta - Berita
Cinta - Busana & Perkawinan
Cinta - Cerita
Cinta - Doa
Cinta - Kecantikan
Cinta - Kesehatan
Cinta - Liputan Khusus
Cinta - Masakan & Minuman
Cinta - Musik
Cinta - Muslimah
Cinta - Puisi
Cinta - Rukun Iman & Islam
Links
Archieve
July 2005[x] September 2005[x] June 2006[x]
|
|