<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/7025216?origin\x3dhttp://cintaku-bp.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Menikahi Perempuan Kafir | Saturday, September 24, 2005


Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini turun setelah ayat yang mengharamkan perkara yang buruk-buruk (ayat 3). Di awalnya terdapat kalimat, alyauma uhilla lakum ath-Thayyibaat (pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik). [Al-Maidah : 5]

Menurut Sayyid Quthb dalam Fii Dzillaalil Quran, kalimat itu memperkuat makna kehalalan yang disebutkan dalam ayat sebelumnya dan pada ayat ini sendiri. Tetapi fokus dari penguatan kalimat tersebut adalah yang terkait dengan masalah makanan, karena perkara halal-halam yang dibahas dalam rangkaian ayat-ayat tersebut adalah tentang jenis-jenis hewan yang boleh dimakan.

Salah satu yang boleh dimakan itu adalah hewan sembelihan kalangan yang diberi kitab (alladziina uutul kitaab) atau lazim disebut Ahlul Kitab, yakni para pemeluk agama Yahudi dan Nasrani. Dalam konteks pembahasan itulah kemudian Allah menurunkan potongan ayat ini.

Takhsis
Ibnu Katsir menceritakan, sebelum turunnya ayat ini, para shahabat tidak ada yang mau mengawini perempuan Ahlul Kitab karena taat pada perintah Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 221: "Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman". Dalam al-Qur'an surat at-Taubah ayat 30-31 Allah menegaskan, kalangan Ahlul Kitab termasuk golongan musyrik karena menjadikan sapi (Yahudi) dan Nabi Isa (Kristen) sebagai sesembahan.

Setelah turunnya ayat 5 surat al-Maidah, ada beberapa shahabat ada yang melakukannya. Mereka menganggap ayat pelarangan tersebut ditakhsis (dikhususkan) oleh ayat pembolehan ini.

Syekh Abdullah bin Baz, sejalan dengan Ibnu Taimiyah, menjelaskan makna takhsis tersebut dengan mengatakan bahwa Ahlul Kitab melakukan tindakan syirik bil fi'li (perbuatan) tapi al-Qur'an tidak menyebut mereka secara langsung sebagai musyrik bil ismi (status). Pembedaan yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 1 tersebut, didukung bunyi zhahir (eksplisit) ayat ini yang terang-terang membolehkan nikah dengan wanita Ahlul Kitab, menjadi landasan hukum dalam ilmu fiqih, bahwa menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani memang halal. Itulah kesepakatan jumhur ulama, termasuk ulama dari kalangan mufassir (ahli tafsir).

Hanya saja, agar tidak salah dalam memahami dan menerapkan hukum, perlu dipahami bahwa pembolehan itu tidak serta merta berhenti begitu saja, melainkan ada keterangan vital yang menyertainya. Yakni yang terkait dengan konteks dan status turunnya ayat serta proses dan metode penafsirannya.

Tanpa menyertai hal-hal itu, praktek menikahi wanita Ahlul Kitab menjadi tidak sah, sebab bunyi pembolehan dalam ayat itu satu paket dan terikat dengan keterangan-keterangan yang menyertainya.

Khilafah Islamiyyah sebagai Syarat
Yusuf Qaradhawi, sebagaimana Sayyid Quthb, mengemukakan, pembolehan Allah itu terkait dengan konteks keberadaan ummat Islam ketika itu yang sudah berada dalam sistem Khilafah Islamiyyah, di mana stuktur sosial budayanya sudah betul-betul terwarnai oleh nilai-nilai Islam secara kaffah. Demikian pula dengan hukum yang berlaku yakni supremasi hukum Allah Swt. Sehingga kalau pun terjadi pernikahan dengan kalangan Ahlul Kitab, mereka akan tetap berada dalam pengaruh warna Islam dalam segala aspek kehidupannya.

Penjelasan itu diperkuat dengan bunyi kalimat di awal ayat yakni al-yauma yang artinya `pada hari ini'. Penyertaan kalimat itu bukan tanpa maksud, melainkan ada tujuannya. Yakni untuk menegaskan situasi dan konteks turunnya ayat bahwa pada saat itu kondisi masyarakat Islam sudah sangat kuat. Selain itu, status ayat ini juga tidak boleh dilupakan. Qaradhawi mengatakan hukum mudah atau halal dalam ayat ini statusnya adalah sebagai hukum asal yang sifatnya global. Dengan demikian jika ayat itu akan diterapkan maka harus merujuk pada keterangan konteksnya yang bersifat khusus seperti dijelaskan di atas.

Tafsir Integral
Hukum menikahi wanita Ahlul Kitab, sebagai masalah fiqih mengambil sumber dari al-Quran dan Sunnah. Dan untuk memahami penetapan hukum itu, para ulama merujuk pada tafsir. Namun ketika menafsirkan ayat ini, kebanyakan lebih dominan menggunakan pendekatan yang disebut fiqhul ahkam, yakni memahami ayat semata-mata dari sudut pandang hukum.

Padahal dalam menetapkan suatu hukum dalam ilmu tafsir berlaku juga pendekatan yang disebut fiqhul adabil ijtima'i, yakni memahami ayat dari sudut pandang budaya dan sosial, termasuk di dalamnya fiqhud da'wah, fiqhud daulah dan fiqhus siyasah.

Pendekatan fiqhul ahkam bukan segala-galanya karena tidak semua yang boleh itu bisa dilakukan mentah-mentah begitu saja tanpa melihat kondisinya. Contohnya poligami. Hukumnya asalnya halal, tapi bisa menjadi haram kalau terjadi kezaliman atau dosa.

Demikian pula halnya dengan menikahi Ahlul Kitab. Qaradhawi, mengemukakan dari sudut pandang pendekatan ini, bahwa hal itu harus dicegah untuk menghindari berbagai mafsadah (kerusakan) dan madharat (bahaya) bagi kaum muslimin. Pandangan yang didasarkan oleh tafsir dengan pendekatan kritis itu dikemukakan dengan sejumlah persyaratan.

Pertama, wanita Ahlul Kitab yang dimaksud al-Qur'an adalah yang secara garis besar betul-betul mau beriman kepada Allah, kerasulan Nabi Muhammad, bukan yang atheis atau agnostis (tidak peduli agama) sebagaimana kebanyakan mereka.

Kedua, mereka menjaga kehormatannya (al-muhshanaatu) sesuai dengan syarat yang diminta al-Qur'an. Para mufassir mengartikan istilah itu sebagai al-haraairu, wanita merdeka (bukan budak) dan wanita yang bersih dari perbuatan zina. Konteksnya untuk saat ini adalah wanita yang menjaga kesucian diri dan auratnya. Tapi faktanya sekarang sudah jarang sekali ditemukan yang seperti itu.

Umumnya gaya hidup mereka adalah yang sudah bebas nilai. Jangankan menutup aurat, keperawanan saja sudah banyak yang dibuang-buang.

Ketiga, syarat wanita Ahlul Kitab yang dikehendaki al-Qur'an adalah yang termasuk kategori dzimmiyyah, yakni yang tunduk dalam naungan kekuasaan dan masyarakat Islam, bukan yang harbiyyah (memusuhi ummat Islam). Qaradhawi mengutip pendapat Ibnu Abas yang membedakan dua macam wanita Ahlul Kitab dan mengharamkan yang berasal dari harbiyyah.

Abu Bakar ar-Razi al-Hanafi cenderung menguatkan pendapat itu dengan mengemukakan firman Allah,

"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya" (Al-Mujadilah: 22).
Pendapat serupa diriwayatkan pula oleh Imam Syafi'i dan Ali bin Abi Thalib. Intinya adalah, Ahli Kitab yang menjadi penduduk darul Islam berbeda dengan yang bukan penduduk darul Islam. Yang boleh dinikahi adalah yang pertama.

Kenyataannya sekarang, dimana ada Yahudi dan Nasrani yang tidak memusuhi Islam dan ummatnya? Faktanya di berbagai negeri muslim mereka melakukan penindasan dan atau memurtadkan kaum Muslimin dengan program kristenisasi global mereka.

Dimana pula ada wilayah yang Islam berkuasa secara semestinya dan menundukkan Ahlul Kitab? Faktanya, mayoritas kaum Muslimin hidup di bawah sistem negara sekuler. Mereka lemah dan tidak punya kekuasaan yang berarti karena pemimpinnya, undang-undangnya, sistem sosialnya dan lain-lain bukan berasal dari Allah.

Keempat, syarat untuk perkara yang mubah adalah tidak boleh menimbulkan fitnah, kerugian dan bahaya baik buat diri sendiri (dhiraara) maupun orang lain (dharara). Perkawinan dengan Ahlul Kitab, menurut Qaradhawi bisa menimbulkan madharat.

Antara lain munculnya kebiasaan kawin campur (beda agama), karena perkawinan itu menjadi preseden (contoh) buruk bagi masyarakat, sehingga mereka mengabaikan pertimbangan agama. Akibatnya para muslimah banyak yang terhambat peluang jodohnya.

Inilah yang pernah diwasiatkan oleh Umar bin Khaththab. Diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Al-Hasan dalam kitabnya al-Atsar, ketika sampai berita kepada Umar tentang pernikahan Shahabat besar Huzhaifah Al-Yamani dengan wanita Yahudi di Madain, ia mengirim surat yang memintanya menceraikan wanita itu.

"Aku khawatir langkahmu akan diikuti oleh kaum Muslimin sehingga mereka memilih kawin dengan ahli dzimmah karena cantiknya, hal itu cukup menjadi fitnah bagi wanita Muslimah," tulis Umar. Hal yang sama dilakukannya terhadap Thalhah bin Ubaidilllah. Padahal wanita yang dinikahi adalah anak seorang pembesar Yahudi.

Larangan serupa pernah pula dilakukan oleh shahabat terkemuka Ibnu Umar dengan mengatakan, "Saya tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa."

Mengapa Allah Membolehkan?
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan ini secara pasti. Wallahua'lam bishawab. Tapi ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Pertama, Allah ingin menunjukkan bahwa tauhid adalah sesuatu yang paling utama. Sehingga agama yang masih memiliki hubungan tauhid walau cuma secara historis, diberi tempat khusus. Sebaliknya yang tidak memiliki asal tauhid tegas-tegas dilarang untuk menjalin ikatan perkawinan.

Kedua, ketentuan itu sebetulnya hanya bertujuan untuk sekedar menunjukkan toleransi dalam rangka menarik kembali Ahlul Kitab kepada tauhid yang murni. Buktinya pembolehan itu tidak berlaku bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan laki-laki mereka. Ini pemahaman yang paling otentik jika dilihat dari sikap al-Qur'an secara keseluruhan terhadap Ahlul Kitab yang mencap mereka sebagai kaum kafir.

Artinya ayat ini bukan untuk menjadikan nikah beda agama sebagai budaya karena bertentangan dengan semangat Islam yang menjadikan perkawinan sebagai sarana untuk iqomatisyari'atillah (menegakkan syari'at Allah) yang salah satu maksudnya (maqashidusysyari'ah) adalah untuk menjaga agama Islam (hifzuddin). Apalagi hal ini juga hampir jarang terjadi dan tidak populer di kalangan ulama dan ummat Islam sejak dulu. Memang ada intelektual Islam yang membolehkan Muslimah menikah dengan laki-laki Yahudi dan Nasrani bahkan antar seluruh agama, dengan memperluas cakupan makna Ahlul Kitab. Mereka beralasan Rasulullah saja menikahi seorang wanita Kristen Koptik. Tapi pendapatnya tidak berdasar, lemah dan ditolak oleh jumhur ulama karena al-Qur'an secara konsisten menggunakan istilah Ahlul Kitab hanya untuk penganut Yahudi dan Nasrani. Dalam Sirah juga tidak ada yang membenarkan tuduhan mereka.

Ketiga, ayat ini justru menunjukkan bahwa menikah dengan Muslimah adalah lebih prioritas karena kalimat sebelum pembolehan nikah campur adalah menikah dengan wanita mu'min yang menjaga kehormatannya. Itu menunjukkan bahwa masalah ini porsinya sangat kecil dan tidak terlalu penting dalam Islam.

Keempat, masalah ini erat kaitannya dengan keimanan karena ayat ini ditutup dengan ancaman bagi yang keluar dari rel iman. Artinya, dalam pernikahan, yang pertama harus diperhatikan sebelum ikatan dengan manusia adalah ikatan dengan Allah.• (Deka Kurniawan)

*) Dikutip dari Hidayatullah.com Edisi Agustus 2002

*****

*************************
Created at 1:59 PM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

July 2005[x] September 2005[x] June 2006[x]