<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/7025216?origin\x3dhttp://cintaku-bp.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Arti Nikah Mut'ah bagi Wanita | Tuesday, September 20, 2005


Cenderung serba merugikan

Akhir-akhir ini, permasalahan halal-haram nikah mut'ah kewmbali merebak ke permukaan. Permasalahan ini identik dengan perseteruan antara Islam sunny dan syi'ah. Mencari siapa yang salah dan siapa yang benar bukannya hal yang mudah, karena masing-masing melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Apalagi pernikahan mut'ah ini pernah dilakukan di zaman Nabi, tetapi juga pernah dilarang, terlebih pada zaman khalifah Umar. Sekarang, masih terus diperdebatkan, apakah akan dihukumi sunnah, mubah ataukah makruh. Tulisan ini tidak akan mengupas masalah hukum, tetapi akan mencoba menggali pembahasan ditinjau dari sisi psikologis keluarga dan kemanusiaan.

Sekilas nikah mut'ah

Pada zaman Rasulullah saw belum ada mobil, kapal, maupun pesawat. Para tentara yang harus pergi berperang ke negeri tetangga harus berjalan kaki atau berkuda puluhan bahkan ratusan dan ribuan kilometer. Tentu saja dibutuhkan waktu yang sangat lama. Perjalanan saja bisa makan waktu berminggu-minggu. Tak jarang para tentara ini baru bisa pulang enam bulan kemudian.

Mereka meninggalkan istri di kampung halaman, tetapi ternyata kebutuhan biologis tak bisa ikut ditinggalkan. Sebagai manusia normal, mereka tetap memiliki gairah untuk berhubungan seksual. Hingga terjadi satu saat di mana para tentara itu tak kuat dan mereka memohon keringanan kepada Nabi untuk melakukan nikah mut'ah dengan kaum wanita di daerah peperangan tersebut. Pernikahan jenis ini tidak seperti perikahan biasa yang tanpa batas waktu, melainkan sejak ijab qabul sudah ditetapkan batas waktu berlakunya ikatan pernikahan tersebut. Aturan ini memberi kesempatan kepada para tentara untuk menikah sementara dengan gadis di sana hingga tiba saat pulang ke tanah air. Memandang hal tersebut sebagai satu kondisi darurat, maka Rasulullah pun memberikan izin.

Ketika tiba masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, sang khalifah melarang rakyatnya untuk melakukan nikah mut'ah tersebut. Antara lain karena menurutnya kondisi darurat yang menyebabkan Rasulullah memperbolehkan hal tersebut sudah tak terjadi lagi. Cara mengatasinya, Umar telah memberlakukan aturan yang menggilir para tentara untuk tidak terlalu lama berada di medan peperangan. Pasukan diatur bergiliran, paling lama empat bulan meninggalkan kampung halamannya, sehingga tidak pula menelantarkan istrinya sendirian di rumah. Itu sebabnya, nikah mut'ah dianggap sudah tak diperlukan lagi. Dan untuk menghindari penyalahgunan syariah pernikahan ini untuk hal-hal yang kurang bertanggung jawab, maka dipandang akan lebih baik untuk melarangnya dari pada memperbolehkannya.

Arti pernikahan bagi wanita

Siapapun, baik laki maupun wanita, baik yang bersikap pro maupun kontra, akan sepakat dalam menilai, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dalam masalah nikah mut'ah ini. Manakala sebuah perceraian, atau perpisahan antara suami istri terjadi, jelas pihak wanita yang paling merasakan getahnya.

Terutama dalam masalah psikologis. Bagi wanita, pernikahan adalah salah satu tujuan hidupnya. Bagi mereka mencintai seseorang dan mengabdi kepadanya adalah segala-galanya. Jika seorang wanita menemukan orang tempat tambatan hatinya, maka pengorbanan sebesar apapun bisa ia berikan. Sudah kodratnya wanita, mereka hidup untuk mencintai. Kebahagiaan yang hakiki bagi wanita manakala mereka bisa mencintai, memberi dan berkorban.

Sepanjang cinta masih bersemi dalam hatinya, mungkinkah ia akan rela melepas suaminya untuk pergi jauh dan tak kembali karena masa kontrak ikatan pernikahan telah habis? Sungguh, bagi seorang wanita yang mencintai dengan tulus, ini adalah hal yang mustahil. Kecuali bagi mereka yang begitu yakin bahwa syariah ini disunnahkan Allah, dan mereka berusaha membuang perasaan mereka sendiri demi kecintaannya kepada Allah. Namun yang jelas, duka yang ditinggalkan dalam dadanya mungkin akan terus menganga dan mengalirkan darah sampai matinya.

Wanita yang telah memberikan cinta tulus kepada suaminya, ia wujudkan dalam bentuk penyerahan jiwa dan raganya secara total, akan memperoleh kebahagiaan yang ia butuhkan. Dan perpisahan yang harus terjadi karena batas waktu pernikahan mut'ah telah habis akan mengikis kebahagiaannya itu menjadi duka yang teramat dalam.

Sesedih apapun laki-laki berpisah dengan istrinya, pasti masih akan lebih sedih lagi perasaan wanita yang harus berpisah dengan orang yang harus ia cintai. Ini disebabkan juga karena wanita melibatkan seluruh perasan dan emosinya dalam setiap ia berhubungan badan dengan orang yang ia cintai.

Kenyataan ini bisa dipelajari dari bukti, bahwa kaum lesbi yang telah bertobat dan ingin meninggalkan dunia maksiatnya itu rata-rata mengalami kesulitan yang lebih besar dibandingkan kaum homo yang juga ingin meninggalkan kekeliruannya. Beberapa ahli mengatakan, dalam kondisi yang parah, kemungkinan kaum lesbian untuk bisa sembuh jauh lebih kecil dibanding dari kaum homo.

Kenyataan ini cukup menggambarkan betapa dalamnya arti kegiatan seksual bagi seorang wanita normal, jauh lebih bermakna dari pada yang dirasakan kaum laki-laki.

Kalau laki-laki diperbolehkan memiliki lebih dari satu istri, itu karena secara psikologis mereka tak terpengaruh dengan pergiliran tersebut. Mereka bisa membagi cintanya kepada istri-istrinya itu. Lain dengan wanita. Jika wanita jatuh cinta, mereka cenderung akan menyerahkan seluruh cintanya kepada seorang laki-laki. Secara normal mereka bisa dimadu, tetapi tak akan bisa memiliki dua suami pada saat yang bersamaan, kecuali jika cintanya tidak tulus, hanya berpura-pura.

Syariah nikah mut'ah ini hanya akan menguntungkan wanita jika mereka bisa membatasi cinta mereka kepada suami. Atau bahkan melakukannya tanpa cinta sama sekali. Mungkin mereka melakukannya hanya karena kebutuhan ekonomi, status, atau sekadar ingin menolong para tentara yang membutuhkan istri itu. Tetapi sungguh, alasan-alasan ini adalah alasan yang sangat rapuh untuk membina sebuah keluarga.

Arti ayah bagi anak

Selain merugikan pihak wanita, siapa lagi yang akan dirugikan dengan pernikahan cara ini? Kita bisa belajar dari kisah hidup putri Diana, yang mengorbankan dirinya untuk bisa bertahan selama belasan tahun dalam kehidupan keluarga yang tidak harmonis. Selama itu ia berjuang untuk bertahan menghadapi konflik dengan suami, upayanya menyembunyikan konflik tersebut dari mata anak-anaknya, kekeringan jiwa dari belaian kasih sayang suami, sendiri menghadapi clash dengan mertua, semua itu menyebabkannya mengalami stress dalam tingkatan yang amat tinggi.

Kalau Diana bisa bertahan, itu adalah karena demi anak-anaknya. Sebagai bekas guru TK, Diana cukup menguasai metode pendidikan anak dengan baik. Salah satu yang ia yakini adalah bahwa figur ayah dan ibu, bagi anak memiliki arti mutlak dan tak tergantikan. Itu sebabnya, ia memilih bertahan dalam pernikahannya dengan risiko yang menyengsarakan dirinya, demi memberikan pendidikan terbaik bagi putra-putranya.

Kalaulah akhirnya ia memilih bercerai, keadaan sudah tidak terlalu parah karena putra-putranya sudah menginjak dewasa. Dasar pendidikan yang mereka peroleh sudah cukup mantap untuk menghadapi permasalahan dalam kehidupan.

Masyarakat tak lagi berdebat tentang begitu buruknya akibat yang harus diderita anak jika orang tua mereka harus bercerai. Buktipun berbicara, anak yang dibesarkan dalam kondisi ini kelak ketika dewasa memiliki kecenderungan menjadi orang yang bermasalah, sukar diatur, dsb. Secara sunnatullah, pendidikan anak baru akan optimal jika ditangani oleh 'duet parent', ayah dan ibu. Kecuali dalam kondisi khusus yang diskenario Allah untuk para nabi, Muhammad saw dan Ismail as, misalnya.

Berbicara tentang kaitan antara hal ini dengan pernikahan mut'ah, sama halnya dengan menggugah kesadaran seseorang bahwa mereka menikah bukan untuk diri mereka sendiri semata. Bahkan jauh sebelum terjadi pernikahan, ketika memilih jodoh pun sudah harus dipertimbangkan calon seperti apa yang diperkirakan dapat menghasilkan keturunan unggul. Begitu pula setelah terjalin hubungan suami istri, masing-masing harus telah siap memperoleh anak. Siapa yang bisa memastikan bahwa tak akan ada calon janin yang tumbuh walau dalam senggama yang pertama kali?

Maka, bagi mereka yang menikah mut'ah pun tak bisa lepas dari risiko memiliki anak. Padahal, jangka waktu pernikahan telah ditetapkan. Setelah itu sang ayah boleh pergi untuk selamanya. Bisa jadi si ayah yang bertanggung jawab akan terus mengirim uang untuk membiayai kehidupan anaknya itu, tetapi si anak harus kehilangan belai kasih sayang ayah, mungkin pula ia tak pernah tahu siapakah ayahnya, karena terpisah jarak puluhan ribu kilometer. Adakah ayah bijaksana yang tega melakukan hal ini?

Menisbikan hak istri?

Permasalahan mengapa nikah mut'ah diperbolehkan untuk pertama kalinya, bisa dimaklumi dengan mempertimbangkan antara besarnya manfaat dan mudharatnya. Semestinya juga sekarang, dalam menetapkan segala sesuatu jenis hukum harus juga mempertimbangkan kedua hal ini.

Apabila nikah mut'ah dimanfaatkan oleh para remaja untuk menghalalkan pacaran di masa kuliah misalnya, jelas ini sudah keblinger.

Berbicara mengenai keseimbangan antara hak dan kewajiban, maka dalam hal pernikahan mut'ah ini sulit untuk diciptakan sebuah kondisi seimbang. Suami memiliki hak dan kewajiban terhadap istri, demikian juga sebaliknya. Mereka berdua pun punya hak dan kewajiban terhadap anak yang mungkin terlahir dari sini, begitu juga sebaliknya.

Hak dan kewajiban antar anggota keluarga ini bukan sebatas urusan biologis dan fisik semata. Lebih jauh, hak dan kewajiban ini menyangkut urusan dunia dan akhirat. Dan seringkali baru bisa diwujudkan dalam jangka waktu panjang.

Akad nikah bukan hanya menjadi momen dihalalkannya hubungan badan antara dua jenis kelamin manusia, namun merupakan pernyataan kesediaan menanggung beban keluarga dan keturunan di masa depan. Seiring dengan dihalalkannya hak bercampur antara lelaki dan perempuan, secara otomatis terbebankan pula tanggung jawab di pundak lelaki untuk memberi nafkah, mendidik, dan melindungi lahir dan batin. Diminta ataupun tidak, suami harus memberikan kewajiban-kewajiban ini kepada istri.

Seorang mahasiswa melakukan nikah mut'ah dengan rekan mahasiswinya, namun mereka tidak tinggal satu rumah, tidak pula ada nafkah yang diberikan. Yang penting mereka telah halal untuk berpacaran. Si suami berkomentar tentang tanggung jawabnya memberikan nafkah, Memberi nafkah memang tanggung jawab suami, tetapi kalau istri sudah rela hanya diberi semangkuk bakso setiap malam minggu, kan sudah selesai masalahnya?

Apakah hanya sampai di sini kesucian niat ummat untuk melakukan sunah Nabi yang mulia ini? Padahal ikatan mulia antara laki-laki dan perempuan ini bukan rekayasa manusia. Allah yang telah mengatur langsung, hak dan kewajiban apa saja yang berkaitan dengan terjadinya ikatan tersebut. Sungguh Allah memiliki tujuan yang jauh lebih mulia terhadap terjadinya ikatan pernikahan itu. Konsekuensi yang diakibatkannya harus ditanggung lahir dan batin, dunia akhirat. Bukan sebatas waktu yang ditentukan sendiri oleh manusia.

Kaum perempuan yang lugu, polos, ikhlas, penuh pengabdian, penuh pengorbanan, penuh kesetiaan, merekalah yang akhirnya menjadi korban yang sengsara. Mudah-mudahan para ahli fuqaha yang akan mengambil keputusan hukum terhadap permasalahan ini tidak menyertakan interes pribadinya sebagai lai-laki, dan masih mempertimbangkan suara fitrah kaum perempuan.

www.hidayatullah.com

*************************
Created at 2:06 PM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

July 2005[x] September 2005[x] June 2006[x]