Muslimah Menikah Dengan Non-muslim, Murtadkah? | Saturday, September 24, 2005
Assalamu alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil Alamin, Washshalatu Wassalamu Alaa Sayyidil Mursalin, Wa Alaa Aalihi Waashabihi Ajmain, Wa Ba`d
Wanita muslimah secara syariah diharamkan untuk menikah dengan laki-laki yang bukan muslim. Baik laki-laki itu kafir sebagai hali kitab atau sebagai pemeluk agama lainnya.
Allah SWT berfirman :
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mumin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah :221).
Perkawinan campur antar agama dalam pandangan Islam hanya dibenarkan apabila pihak laki-lakinya beragama Islam. Laki-laki muslim ini dibolehkan mempersunting wanita ahli kitab. Paling tidak itu merupakan pendapat jumhur ulama. Dan ada juga pendapat yang marjuh yang tetap tidak membolehkan hal itu.
Sedangkan bila wanita itu bukan ahli kitab (musyrik), maka haram hukumnya. Sebaliknya, wanita muslimah diharamkan secara mutlak untuk dipersunting oleh laki-laki non muslim manapun baik ahli kitab atau bukan. Kalau masalah ini semua pendapat ulama sepakat untuk mengharamkannya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah
Makanan-makanan ahli kitab adalah halal buat kamu begitu juga makananmu halal buat mereka. Perempuan-perempuan muminah yang baik (halal buat kamu) begitu juga perempuan-perempuan yang baik-baik dari orang-orang yang pernah diberi kitab sebelum kamu, apabila mereka itu kamu beri maskawin, sedang kamu kawini mereka (dengan cara yang baik) bukan berzina dan bukan kamu jadikan gundik. (al-Maidah: 5).
Jadi kalau sampai ada seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, maka pernikahan itu bathil, tidak syah dan tidak dibenarkan dalam agama Islam. Wali atau ayah kandung dari wanita itu diharamkan untuk menikahkannya dengan laki-laki non muslim. Bila ayah kandungnya nekat melakukannya, maka dia berdosa besar. Karena hukumnya adalah zina.
Jadi pernikahan itu harus ditolak karena pernikahan itu batil. Membiarkannya berarti mengakui dan merelakan sebuah kebatilan berlangsung.
Tapi status keislaman wanita itu tidak gugur, dia tetap seorang muslimah. Hanya saja secara kaca fiqih, dia dianggap berzina bila tetap bercampur dan melakukan hubungan suami istri dengan laki-laki itu. Karena secara hukum, laki-laki itu bukan suaminya dan juga bukan mahramnya.
2. Cara yang terbaik untuk memberitahukannya adalah dengan mulai memperkenalkan hukum-hukum fiqih Islam secara umum terlebih dahulu. Dan tentu saja dari yang ringan namun sangat penting. Misalnya tentang kewajiban shalat, puasa, zakat dan sendi-sendi utama Islam lainnya. Bila dari hukum dasar itu dia sudah mulai yakin dan mantap, barulah masuk kepada masalah pernikahan dan hal-hal yang lebih mendalam.
Hal itu perlu dilakukan dengan hati-hati karena masalah ini cukup berat baginya. Karena pilihannya hanya ada dua dan keduanya bukan masalah ringan. Pilihan pertama, mereka harus dipisahkan secara langsung. Istilahnya mungkin cerai meski secara fiqih hukumnya bukan cerai thalaq tapi fasakh. Pilihan kedua adalah suaminya masuk Islam. Tentu pilihan ini juga bukan masalah sederhana, karena terkait dengan status dan perpindahan agama seseorang.
Tetapi bukan tidak mungkin untuk mengadakan pendekatan kepada pihak suaminya yang ujung-ujungnya bisa mengarahkannya masuk Islam. Kalau belum dicoba, kenapa kita berpikir tidak mungkin ?
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
syariahonline.com
*****
*************************
Created at 2:07 PM
*************************

Drs. M. Thalib Penerbit: Irsyad Baitus Salam
Tuntunan untuk memulai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
BAB I CARA MEMINANG 1. Meminang Sendiri Disebutkan dalam Hadist berikut: 'Abdurrahman bin 'Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh: "Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?" Jawabnya: "Baiklah." Ujarnya: "Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi." (HR. Bukhari)
Meminang sendiri perempuan yang hendak dijadikan istri atau kepada wali atau orang tuanya merupakan salah satu cara meminang yang dibenarkan oleh syari'at Islam. Cara semacam ini halal kita praktekkan, baik kepada perempuan yang masih perawan atau yang sudah menjadi janda.
2. Meminang Oleh Orang Tua/Wali Disebutkan dalam Hadist berikut: 'Aisyah berkata: "Sesungguhnya perkawinan pada zaman jahiliyah ada 4 macam, diantaranya seperti perkawinan yang berjalan pada saat ini, yaitu seorang laki-laki datang kepada laki-laki lain (keluarganya) untuk meminang perempuan yang ada di bawah perwaliannya atau putrinya, lalu dia memberinya maskawin, kemudian (wali) menikahkan perempuan tersebut kepadanya...." (HR. Bukhari)
Tradisi orang tua atau keluarga laki-laki datang meminang kepada keluarga atau wali perempuan, yang merupakan kebiasaan yang berlaku sebelum datangnya Islam ke tengah masyarakat Arab, sudah diterima oleh Islam. Kebiasaan yang telah diterima oleh Islam berarti menjadi suatu syari'at yang dibenarkan oleh Islam.
3. Meminang Oleh Utusan Dalam Hadist berikut disebutkan: Dari Ummu Salamah, bahwa ketika Nabi saw. mengirim utusan untuk meminangnya, ia berkata: "Tidak seorangpun dari waliku yang hadir." Rosulullah saw. bersabda: "Semua walimu, baik yang tidak hadir maupun yang hadir, tidak ada yang tidak menyukai hal ini (peminangan)." (HR. Ahmad dan Nasa'i)
Peminangan bisa dilakukan oleh utusan. Seseorang bisa meminta bantuan kepada orang lain untuk meminang perempuan yang diinginkan menjadi istri bagi dirinya. Dengan bantuan utusan yang jujur dan dapat dipercaya ia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Syarat utusan yang harus dipenuhi antara lain: 1. taat beragama; 2. bersifat adil dan jujur; 3. memiliki kedewasaan dalam mempertimbangkan sesuatu; 4. tidak memiliki rasa permusuhan atau kebencian terhadap orang yang dipinang; 5. secara umum dipercaya oleh lingkungan atau masyarakatnya.
4. Meminang Oleh Pemimpin Dalam Hadist berikut disebutkan: Sahl bin Sa'ad berkata: Seorang perempuan datang kepada Nabi saw., lalu ujarnya: "Saya serahkan diriku kepadamu." Perempuan ini lama berdiri, kemudian ada seorang laki-laki berdiri, lalu berkata (kepada Rosulullah): "Wahai Rosulullah, jika Tuan tidak berminat kepadanya, nikahkanlah dia denganku." Rosulullah saw. lalu bersabda: "Aku nikahkan kamu dengannya dengan maskawin Al-Qur'an yang telah kamu hafalkan (untuk kamu ajarkan kepadanya)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Adanya tuntunan Rosulullah saw. seperti diungkapkan dalam Hadist di atas hendaknya menjadi pelajaran bagi seluruh umat Islam bahwa seorang muslim dapat meminang seorang perempuan melalui pemimpin yang dipercaya. Hal ini telah dicontohkan oleh Rosulullah sebagai perbuatan yang diridlai.
5. Meminang Langsung Kepada Calon Seperti nomor 1.
Seorang laki-laki yang menginginkan seorang perempuan untuk menjadi istrinya boleh langsung meminang perempuan bersangkutan tanpa melalui wali atau orang tuanya. Perempuan yang masih perawan boleh langsung menerima pinangan laki-laki yang menginginkannya atau boleh juga melalui perantara yang menjadi wakil laki-laki tersebut.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang boleh dipinang langsung tanpa melalui wali atau orang tuanya adalah perempuan yang sudah janda, dan perempuan yang masih perawan tidak boleh.
Hadist pada nomor 4, tidak dijelaskan apakah perempuan yang dipinang oleh Nabi untuk sahabatnya itu janda atau perawan karena dia tidak ditanya oleh Nabi keadaannya. Oleh karena itu, kita berpegang pada yang pokok bahwa perempuan tersebut masih perawan. Pada pokoknya, selama tidak ada keterangan bahwa seorang perempuan telah bersuami atau janda dia dipandang sebagai perawan. Berdasarkan inilah kita menyatakan bahwa pendapat ulama hanya janda yang boleh dilamar langsung tanpa melalui wali atau orang tuanya, adalah tidak benar.
6. Meminang Kepada Orang Tua/Wali Dalam Hadist berikut disebutkan: Abu Buraidah berkata: Seorang anak gadis datang kepada Rasulullah saw., lalu berkata: "Sesungguhnya ayahku telah menikahkan diriku dengan keponakannya yang dengan perkawinanku terangkatlah beban beratnya." Rosulullah saw. lalu menyerahkan persoalan itu kepada dirinya, tetapi gadis ini kemudian berkata: "Saya benarkan tindakan ayahku itu, tetapi saya ingin menyatakan kepada kaum perempuan bahwa sebenarnya para bapak tidak memiliki kekuasaan sedikitpun (memaksakan perkawinan pada anak perempuannya)." (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Nasa'i)
Orang tua atau wali yang menerima pinangan sama sekali tidak berhak memaksa anak perempuannya untuk menerima kehendaknya. Sebab, pernikahan yang dilakukan bukan atas dasar saling suka tidak sah. Hal ini terungkap dalam Hadist berikut:
Dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman, ujarnya: Seorang perempuan datang kepada Nabi saw., lalu berkata: "Wahai Rosulullah, paman anakku telah datang melamarku, tetapi bapakku menolaknya dan ia menikahkan aku (dengan laki-laki lain), sedang aku tidak menyukainya." Ujarnya (Abu Salamah): Beliau lalu mengundang bapaknya dan menanyakan kepadanya tentang hal itu, kemudian jawabnya: "Sesungguhnya aku nikahkan dia dan tiada maksudku kepadanya kecuali demi kebaikan." Lalu Rosulullah saw. bersabda: "Tidak sah pernikahan itu. Pergilah kamu, (wahai anak perempuan), lalu menikahlah kamu dengan orang yang engkau sukai." (HR. Ibnu Abi Syaibah, Hadist shahih)
Agar tidak mengecewakan hati peminang, sebelum menyetujui pinangan seorang laki-laki, orang tua harus menanyai keinginan anaknya. Jika ternyata dia menolak, orang tua tidak boleh memaksakan berlangsungnya perkawinan antara anaknya dengan laki-laki yang meminangnya.
7. Melihat Yang Dipinang Dari Jabir bin 'Abdillah, Rosulullah saw. bersabda: "Jika seseorang dari kamu yang akan meminang seorang perempuan bisa melihat lebih dulu apa yang menjadi daya tarik untuk mengawininya, hendaklah ia melakukannya." (HR. Abu Dawud)
Dari Mughirah bin Syu'bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu Rosulullah saw. bersabda kepadanya: "Sudahkah kau melihatnya?" Jawabnya: "Belum." Sabdanya: "Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu berdua bisa hidup bersama lebih langgeng (dalam keserasian berumah tangga)." (HR. Nasa'i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Hadist hasan)
Dari Abu Hurairah, bahwa pernah seseorang sahabat meminang seorang wanita Anshar, lalu Rosulullah bersabda kepadanya: "Sudahkah engkau melihatnya?" Jawabnya: "Belum." Sabdanya: "Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata orang Anshar ada sesuatu (cacat)." (HR. Ibnu Majah)
Dari Abu Humaid As-Sa'idi, dari Nabi saw., sabdanya: "Bilamana seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan, tidak berdosa dia melihatnya, asalkan melihat itu untuk kepentingan meminang sekalipun perempuan itu sendiri tidak tahu." (HR. Ahmad)
Setelah menemukan jodoh pilihannya, seorang laki-laki seyogyanya lebih dulu melihat perempuan yang akan dipinangnya. Hal ini dimaksudkan agar ia dapat mengetahui daya tariknya, misalnya kecantikannya, yang bisa jadi merupakan salah satu faktor yang mendorongnya untuk mempersunting perempuan tersebut. Selain itu, melihat calon yang dipinang dimaksudkan agar laki-laki bersangkutan dapat mengetahui cacat atau aib perempuan tersebut yang bisa menjadi penyebab ketidaktertarikannya, sehingga ia membatalkan niatnya untuk meminang.
Melihat perempuan yang hendak dipinang oleh agama dibenarkan dan dianjurkan sebagaimana tersebut dalam Hadist-hadist di atas. Hal ini bertujuan menciptakan kebaikan, kesejahteraan, dan ketentraman hidup suami istri.
Hadist-hadist tentang melihat calon istri tidak menentukan bagian-bagian badan tertentu yang boleh dilihat. Bahkan secara umum dikatakan agar seseorang melihat bagian yang menjadi daya tarik untuk mengawininya.
Pendapat ini berdasarkan riwayat dari 'Abdul Razak dan Sa'id bin Manshur, bahwa 'Umar pernah meminang putri 'Ali yang bernama Ummu Kultsum. Ketika itu 'Ali menjawab bahwa putrinya masih kecil dan beliau berkata: "Nanti Ummu Kultsum akan saya suruh datang kepada Anda. Bilamana Anda suka, ia dapat dijadikan istri Anda." Ketika putrinya datang kepada 'Umar, 'Umar menyingkap pakaian Ummu Kultsum untuk memeriksanya. Serentak Ummu Kultsum berkata: "Seandainya Tuan bukan seorang khalifah, tentu sudah saya colok kedua matanya."
Laki-laki yang meminang boleh melihat keadaan fisik perempuan yang dipinangnya. Ia boleh melihat bagian-bagian yang menjadikannya tertarik untuk mengawininya, misalnya betis atau rambut kepalanya. Hal semacam ini tidak terlarang sebagaimana dilakukan oleh 'Umar bin Khaththab.
Melihat dan memeriksa pinangan sebaiknya dilakukan di hadapan mahramnya. Akan tetapi, bila ada hal-hal tertentu yang ingin dilihat secara pribadi dan tidak boleh disaksikan oleh mahramnya, hal ini pun boleh dilakukan sekedarnya semata-mata untuk keperluan meminang.
Jika perempuan bersangkutan menolak atau keberatan atas permintaan peminangnya untuk dilihat, peminang boleh memilih cara lain, misalnya dengan mewakilkan kepada perempuan tertentu yang dipercayainya untuk melihat bagian-bagian yang diinginkannya. Cara ini bisa diambil untuk menjaga agar perempuan tersebut tidak merasa malu dilihat langsung oleh peminangnya.
Meminang melalui utusan ini biasa dilakukan oleh Rosulullah saw. seperti tersebut dalam Hadist berikut: (Bila hendak menikahi seorang perempuan) Rosulullah saw. biasa mengutus seorang perempuan untuk memeriksa aib yang tersembunyi (padanya). Beliau bersabda kepada perempuan tersebut: "Ciumlah bau mulutnya dan baulah ketiaknya serta perhatikanlah urat kakinya." (HR. Thabarani dan Baihaqi)
Pemeriksaan bau mulut dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesehatan pernafasan dan pemeliharaan kebersihan mulut yang bersangkutan. Pemeriksaan ketiak dimasksudkan untuk mengetahui seberapa jauh pemeliharaan badannya sehingga dia tidak membiarkan bau badannya menyusahkan orang lain. Pemeriksaan urat kaki untuk mengetahui tingkat kesehatan seluruh badan. Kaki yang bengkak atau sakit menggambarkan bahwa kesehatan badannya terganggu. Selain itu, pemeriksaan urat kaki juga dimaksudkan untuk mengetahui dalam dangkalnya atau subur tidaknya rahim perempuan bersangkutan.
Dengan memastikan kebersihan mulut, kebersihan ketiak, dan kesehatan kaki, diharapkan peminang mengetahui kondisi kesehatan keseluruhan perempuan tersebut.
Dalam hal ini Imam Ghazali dalam kita Ihya' mengatakan: "Janganlah menanyakan akhlaq dan kecantikan perempuan yang akan dipinang, kecuali kepada orang-orang yang benar-benar tahu lagi jujur, yang tahu lahir dan batinnya. Ia bukan orang yang memihak kepadanya, sehingga nantinya ia akan memuji secara berlebih-lebihan; dan bukan pula orang yang benci kepadanya sehingga nanti akan menjelek-jelekkannya."
Seberapa jauh utusan ini memperoleh hak memeriksa tergantung pada pesan yang disampaikan oleh laki-laki yang bermaksud meminang.
Sebaliknya, perempuan yang diperiksa oleh utusan laki-laki yang bermaksud menjadikannya sebagai istri tidak boleh merasa terhina atau dilecehkan martabatnya.
Jika setelah mereriksa putrinya ternyata peminang membatalkan pinangannya, orang tua tidak boleh marah karena merasa terhina. Orang tua harus menerima hal tersebut karena memeriksa atau melihat pinangan adalah hak peminang yang diberikan oleh agama.
Bila setelah melihat peminang ternyata menjadi tidak tertarik, hendaklah dia diam dan tidak mengatakan apa pun kepada orang lain mengenai perempuan tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena mencela atau menyebarkan aib kepada orang lain bisa menyakitkan hatinya dan hal ini dilarang oleh agama. Boleh jadi perempuan yang tidak disenanginya akan disenangi oleh laki-laki lain.
Melihat dalam pengertian ini tidaklah khusu bagi laki-laki, tetapi juga perempuan. Perempuan berhak mengetahui keadaan laki-laki yang meminangnya guna mengetahui hal-hal yang bisa menyebabkannya tertarik sebagaimana laki-laki melihat faktor-faktor yang menyebabkan dia tertarik.
Perempuan yang ingin mengetahui seluk-beluk laki-laki yang meminangnya, baik fisik maupun keadaan pribadinya, harus melewati walinya. Dalam hal ini 'Aisyah berpesan kepada para wali agar berhati-hati melepaskan putrinya kepada laki-laki yang meminangya. Wali seharusnya meneliti keadaan laki-laki yang bersangkutan agar anknya tidak jatuh pada laki-laki yang berakhlaq buruk. 'Aisyah berkata: "Kawin berarti perbudakan. Oleh karena itu, hendaklah seseorang memperhatikan dimana ia lepaskan anak perempuannya."
Selain meneliti akhlaq peminang sebagaimana yang dipesankan oleh 'Aisyah di atas, wali pun hendaklah memperhatikan nasehat 'Umar ra. berikut: "Janganlah Anda menikahkan putri-putri Anda dengan seorang laki-laki jelek, sehingga hanya dia (laki-laki tersebut) yang merasa senang kepadanya, sedang dia (wanita) tidak menyukainya."
Jika ternyata perempuan bersangkutan tidak senang kepada laki-laki yang meminangnya, orang tua atau wali tidak boleh memaksakan kehendaknya secara sepihak, sebab bila anak perempuannya tidak senang, hal itu akan mengakibatkan penderitaan hidup bagi yang bersangkutan. Orang tua atau wali yang menyebabkan anak perempuan atau perempuan di bawah perwaliannya mengalami kesedihan dan derita akibat perkawinan yang tidak disukainya berarti berbuat dosa kepada yang bersangkutan.
Jadi, memeriksa dan meneliti peminang merupakan tanggung jawab wali demi menjaga kehormatan dan keselamatan putrinya.
Para laki-laki muslim diperbolehkan melihat calon pinangannya. Ketika melihat ini hendaklah dia menjaga akhlaq Islam, menghormati perasaan perempuan dan keluarganya, menjaga nama baik mereka, memelihara tradisi masyarakat Islam setempat, dan melihat hanya untuk keperluan meminang. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan fitnah pada dirinya dan rasa terhina pada perempuan dan keluarganya. Jadi, batas-batas syari'at tentang melihat calon yang dipinang harus tetap diperhatikan.
8. Lafadz Meminang Rasulullah saw. bersabda: "Tentu engkau sudah tahu aku ini seorang rasul Allah dan (rasul) yang terbaik serta betapa mulianya kedudukanku di kalangan bangsaku." (HR. Daraquthni. Hadist ini sanadnya terputus, karena rawi bernama Muhammad Al-Baqir bin 'Ali tidak bertemu dengan Nabi)
Dalam Hadist pada nomor 1 diterangkan bahwa 'Abdurrahman bin 'Auf meminang Ummu Hakim dengan menggunakan kata-kata "Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?" Sedangkan dalam Hadist di atas disebutkan bahwa Rosulullah menggunakan kata-kata tersirat dengan menyebutkan kemuliaan dirinya di tengah masyarakatnya.
Dari kedua contoh kata pinangan yang tersebut dalam Hadist-hadist di atas kita memperoleh keterangan bahwa Islam tidak menetapkan kata-kata tertentu untuk menyatakan pinangan. Kata-kata pinangan yang dipergunakan oleh seseorang laki-laki kepada perempuan atau keluarga yang dipinang bisa berupa kalimat atau kata-kata yang biasa digunakan di lingkungan masyarakatnya. Seseorang bisa menggunakan pantun atau pepatah petitih yang sudah menjadi tradisi yang berlaku dalam masyarakat.
Lafadz pinangan yang digunakan oleh berbagai lingkungan budaya, baik lingkungan kaum muslim maupun non-Islam, yang dimaksudkan untuk menyatakan pinangan, boleh kita pergunakan. Masyarakat Jawa boleh menggunakan kalimat atau kata-kata pinangan berbahasa Jawa. Semua kata atau kalimat itu sah digunakan selama dimaksudkan untuk menyatakan kehendak untuk meminang.
Karena Islam tidak menentukan kata-kata tertentu dalam menyampaikan pinangan, dalam hal ini berlakulah kaidah fiqih, bahwa kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat merupakan hukum bagi masyarakat bersangkutan selama tidak bertentangan dengan syari'at Islam.
Jadi, lafadz apa pun yang kita gunakan untuk menyatakan pinangan kepada perempuan atau keluarganya boleh kita pergunakan dan sah menurut syari'at Islam.
9. Tidak Menandai Pinangan Dengan Tukar Cincin Dalam Hadist berikut Rosulullah saw. bersabda: "Siapa saja yang meniru sesuatu kaum (non-Islam), dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud)
Maksudnya, orang yang meniru tradisi yang dilakukan oleh golongan di luar Islam dikatakan sebagai golongannya. Orang yang meniru hal-hal semacam itu dikategorikan sebagai orang yang melakukan perbuatan jahiliyah, sedangkan tiap-tiap perbuatan jahiliyah haram dilakukan.
Bertukar cincin bukan cara Islam dan bukan pula cara bangsa-bangsa Asia, melainkan cara bangsa Roma (Eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, tukar cincin pada mulanya bukan cara umat Kristiani, melainkan warisan kebudayaan Romawi.
Sering terjadi di tengah masyarakat kita laki-laki dan perempuan yang telah bertukar cincin bebas bergaul berduaan, pergi bersama-sama seperti suami istri, berbincang, dan bercengrama sehingga merusak tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Perbuatan semacam ini dilarang oleh Islam.
Rosulullah saw. bersabda: "Janganlah seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan hendaklah ada bersama perempuan itu mahramnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, tukar cincin biasanya dilakukan langsung oleh yang bersangkutan sehingga keduanya saling bersentuhan. Bersentuhan semacam ini juga dilarang sebagaimana disabdakan Rosulullah saw. berikut:
"Seseorang dari kamu ditikam kepalanya dengan jarum dari besi lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya." (HR. Thabarani)
Karena Islam tidak memberi tuntunan upacara peminangan, kita tidak boleh mengada-adakannya sekedar mengikuti tradisi. Bahkan meniru tradisi masyarakat nonmuslim semacam itu adalah haram. Jadi, upacara tukar cincin dan sejenisnya ketika melaksanakan pinangan harus ditinggalkan.
BAB II PEREMPUAN YANG TIDAK BOLEH DIPINANG 10. Perempuan Yang Bersuami Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa' (4) ayat 24: "Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami...."
Disebutkan dalam Hadist berikut: Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., sabdanya: "Bukanlah dari golongan kami orang yang merusak hubungan seorang perempuan dengan suaminya atau merusak hubungan seorang budak dengan pemiliknya." (HR. Abu Dawud)
Perempuan yang telah bersuami haram dipinang oleh siapa pun. Diapun haram dipisahkan dari suaminya atau dipengaruhi agar hubungannya dengan suaminya menjadi tidak baik. Orang yang merusak hubungan suami istri yang dimaksud dalam Hadist di atas bisa orang lain, bisa juga dari lingkungan keluarganya sendiri.
11. Perempuan Yang Sedang Dipinang Dari 'Uqbah bin 'Amir, Rosulullah saw. bersabda: " Orang mukmin satu dengan lainnya bersaudara. Ia tidak boleh membeli barang yang sedang dibeli saudaranya dan tidak boleh meminang pinangan saudaranya sebelum ia ditinggalkan." (HR. Ahmad dan Muslim)
Seseorang tidak dikatakan meminang perempuan pinangan saudaranya apabila: 1. peminangan semula sudah ditolak dengan terang-terangan atau dengan sindiran, atau 2. peminangan pertama belum diterima juga belum ditolak dan laki-laki pertama mengizinkannya, atau 3. laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain yang sudah meminangnya.
Seorang laki-laki diharamkan meminang perempuan yang telah menerima pinangan laki-laki lain. Jika laki-laki kedua meminang sesudah laki-laki pertama diterima, kemudian menikah, dia berarti telah melakukan perbuatan dosa. Akan tetapi, perkawinannya tetap sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang meminang tidak termasuk salah satu syarat sahnya nikah. Oleh karena itu, nikahnya tidak boleh difasakhkan (dibatalkan oleh pengadilan), sekalipun tindakan meminangnya melanggar.
Jika dia mengajukan pinangan bersama-sama atau bersamaan dengan peminang lainnya, perbuatannya diperbolehkan.
Ringkasnya, Islam melarang seorang laki-laki mengajukan pinangan terhadap perempuan yang ia ketahui telah dipinang laki-laki lain tanpa persetujuan laki-laki tersebut. Sebaliknya, perempuan yang telah menerima pinangan seseorang tidak boleh menerima pinangan orang lain sebelum membatalkan penerimaan pinangan laki-laki sebelumnya. Bila ia belum memberikan jawaban, ia boleh menerima pengajuan pinangan dari beberapa laki-laki untuk kemudian ia pilih yang terbaik dari antara mereka.
12. Perempuan Dalam Masa Iddah Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 228: "Para janda cerai hendaklah bersabar menahan diri dalam masa 3 kali bersih haidh. Mereka tidak dihalalkan merahasiakan kandungan mereka jika mereka benar-bernar beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan bekas suami mereka lebih berhak atas mereka dalam masa tersebut jika mereka mau berlaku baik. Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma'ruf. Para suami memiliki satu derajat lebih dari mereka, dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
"Dan tidaklah salah bagi kamu meminang perempuan-perempuan dengan sindiran atau kamu rahasiakan di dalam hatimu sendiri. Allah mengetahui bahwa kamu sesungguhnya akan selalu mengenang mereka, tetapi janganlah kamu mengikat janji dengan mereka secara rahasia, kecuali untuk mengatakan perkataan yang baik; dan janganlah kamu menginginkan mengikat tali perkawinan sebelum habis iddah mereka, karena itu berhati-hatilah kamu kepada-Nya...."
Islam melarang seorang laki-laki mengajukan pinangan terhadap perempuan yang masih dalam masa iddah. Mereka haram dipinang dengan terang-terangan oleh laki-laki lain dan haram pula dikawini pada masa iddahnya.
13. Perempuan Yang Sedang Ihram Dalam Hadist berikut disebutkan: Dari 'Utsman bin 'Affan ra., sesungguhnya Rosulullah saw. bersabda: "Tidak boleh orang yang ihram kawin dan dikawinkan, juga tidak boleh meminang." (HR. Muslim)
Dari ketentuan Hadist di atas, dapat diperoleh keterangan bahwa laki-laki yang hendak meminang perempuan sedang ihram harus menundanya sampai perempuan tersebut selesai ihram. Jika ternyata ia memaksakan diri meminangnya semasa ihram, dia dikatakan berbuat dosa dan pinangannya batal.
BAB III MASA PINANGAN DAN PEMBATALAN PINANGAN 14. Masa Pinangan Dalam Islam tidak ada ketentuan tentang jarak waktu atau masa pinangan dengan pernikahan. Jadi, begitu meminang, saat itu pula keduanya boleh melakukan akad nikah.
Karena jarak meminang dengan pelaksanaan pernikahan sama sekali tidak ada ketentuannya dalam Islam, kapan pun orang melakukan pernikahan setelah meminang dibenarkan. Bahkan sebaiknya pernikahan dilakukan sesegera mungkin setelah meminang. Hukum menyegerakan akad nikah setelah meminang adalah sunnah. Hal ini Rosulullah saw. sabdakan dalam Hadist berikut:
"Tiga perkara yang tidak boleh kamu tunda-tunda: shalat bila sudah tiba waktunya, jenazah bila selesai diurus, dan janda bila telah mendapatkan pasangannya yang sepadan." (HR. Tirmidzi dan Hakim, dari 'Ali)
Islam memang tidak melarang seseorang menunda perkawinannya, misalnya setahun sesudah pinangannya diterima. Akan tetapi, bila yang bersangkutan tidak dapat menjaga hal-hal yang haram, misalnya melakukan khalwat (berdua-duaan), akad nikah harus segera dilakukan. Demikianlah karena menunda masa pernikahan yang telah tiba saatnya, sedangkan yang bersangkutan tidak bisa menghindarkan perbuatan khalwat adalah tindakan tercela dan haram menurut syari'at Islam. Hal ini dijelaskan dalam Hadist dari Jabir yang menyebutkan bahwa Rosulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, janganlah sekali-kali menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai oleh mahramnya, sebab nanti yang menjadi orang ketiganya adalah setan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Agama membolehkan seorang laki-laki bertemu dengan tunangannya bila ia disertai oleh salah seorang mahramnya. Mahram ialah laki-laki yang haram kawin degan perempuan tersebut, seperti: 1. ayah; 2. saudara laki-laki sekandung; 3. saudara laki-laki seayah; 4. saudara laki-laki seibu; 5. paman dari pihak ayah; 6. paman dari pihak ibu; 7. anak laki-laki dari saudara laki-laki; 8. anak laki-laki dari saudara perempuan; 9. anak laki-laki dari anak-anaknya (cucu); 10. mertua laki-laki; dan 11. menantu laki-laki.
Jika yang menemani perempuan tersebut ibunya atau bibinya atau saudara perempuannya, laki-laki itu tetap diharamkan untuk bertemu dengan tunangannya.
15. Pembatalan Pinangan Dalam Hadist berikut Rosulullah saw. bersabda: "Sifat orang munafik itu ada tiga: apabila berkata, ia dusta; bila berjanji, ia menyalahi; dan bila dipercaya, dia khianat." (HR. Bukhari)
Peminangan merupakan langkah pendahuluan sebelum akad nikah. Pada saat meminang sering kali disertai dengan pemberian maskawin, baik seluruh atau sebagiannya, dan disertai pemberian bermacam-macam hadiah atau lainnya guna memperkokoh pertalian dan hubungan yang masih baru itu. Akan tetapi, terkadang terjadi bahwa pihak laki-laki atau perempuan atau kedua-duanya kemudian membatalkan rencana pernikahan. Bolehkan hal ini dilakukan? Apakah segala yang telah diberikan kepada perempuan yang dipinang itu harus dikembalikan?
Pembatalan pinangan berarti membatalkan perjanjian hendak melakukan akad nikah. Maksud Hadist di atas ialah bahwa membatalkan suatu perjanjian tanpa suatu alasan yang sah adalah termasuk perbuatan tercela, bahkan pelakunya dipandang sebagai orang munafik.
Peminangan sebenarnya semata-mata merupakan perjanjian hendak melakukan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi akad nikah. Seseorang yang sudah terikat pinangan boleh tetap meneruskannya hingga ke perkawinan dan boleh juga membatalkan bila ternyata hatinya tidak senang lagi.
Membatalkan pinangan ini menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, Islam tidak menjatuhkan hukuman material, sekalipun perbuatan itu dipandang tercela oleh sebagian orang.
Mahar yang telah diberikan oleh peminang kepada pinangannya berhak diminta kembali, karena mahar diberikan sebagai ganti dan imbalan perkawinan. Selama perkawinan itu belum terlaksana, pihak perempuan belum mempunyai hak sedikit pun atasnya dan ia wajib mengembalikan kepada pemiliknya.
Adapun pemberian-pemberian dan hadiah-hadiah selain mahar hukumnya sama dengan hibah. Secara hukum, hibah tidak boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian dari sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima oleh yang diberi, berarti barang itu sudah menjadi miliknya dan ia boleh menggunakan sesukanya. Bila pemberi hibah memintanya kembali, berarti ia merampas milik orang yang diberi hibah tanpa keridlaannya.
Dalam riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Nasa'i, dari Ibnu 'Abbas, Rosulullah bersabda:
"Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya."
Dalam Hadist yang diriwayatkan dari Salim, dari bapaknya, Rosulullah saw. pernah bersabda:
"Barangsiapa memberikan hibah, dia masih tetap berhak terhadap barangnya selama belum mendapatkan imbalannya." (HR. Baihaqi dan Hakim)
Hadist-hadist di atas sepintas terlihat saling bertentangang; yang satu melarang meminta kembali hibah yang telah diberikan dan yang lain membolehkannya.
Yang dimaksud Hadist pertama ialah pemberian tanpa syarat kepada yang diberi. Pemberian semacam ini jika kemudian ditarik kembali oleh perberinya hukumnya haram, kecuali pemberian ayah kepada anaknya. Yang dimaksud Hadist kedua ialah pemberian bersyarat atau pemberian dengan perjanjian bahwa yang memberi mendapat imbalan tertentu dari penerima. Jika ternyata penerima tidak memenuhi syarat semacam ini, pemberian tersebut boleh ditarik kembali.
Oleh karena itu, bila pinangan dibatalkan, yang dapat diminta kembali hanyalah mahar, sedangkan pemberian selain mahar semacam antaran (uang dan sebagainya pemberian dari pihak laki-laki kepada bakal mertua) tidak boleh diminta kembali. Antaran (Jawa: peningset) bukan termasuk hibah dengan imbalan tertentu. Meminta kembali pemberian atau antaran diperbolehkan hanya bila ketika penyerahan antaran itu ada perjanjian bahwa kalau dibatalkan, antaran dikembalikan. Akan tetapi, kalau tidak ada perjanjian, antaran tidak boleh ditarik kembali.
Pihak laki-laki atau perempuan tidak berdosa melakukan pembatalan pinangan, karena tidak ada larangan dari Islam. Bila pembatalan membuat marah calon suami atau calon istri, hal tersebut sama sekali tidak mengharamkan pembatalan pinangan, hanya hal tersebut tercela menurut adat.
Agar tidak terjadi pembatalan pinangan, upaya paling tepat dilakukan ialah menyegerakan menikah pada hari meminang sebagaimana dicontohkan oleh para sahabat Rosulullah saw.. Dengan demikian, tidak ada kesempatan untuk membatalkan pinangan.
Membatalkan pinangan tidak diharamkan oleh Islam dan menurut hukum Islam, pihak yang menerima pembatalan tidak dapat menuntut apa pun dari yang bersangkutan. Segala pemberian kepada yang dipinang tidak boleh diminta secara paksa kecuali maskawin. Selama tidak ada perjanjian untuk mengembalikan, segala macam pemberian menjadi hak penerima.
*****
*************************
Created at 2:04 PM
*************************
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini turun setelah ayat yang mengharamkan perkara yang buruk-buruk (ayat 3). Di awalnya terdapat kalimat, alyauma uhilla lakum ath-Thayyibaat (pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik). [Al-Maidah : 5]
Menurut Sayyid Quthb dalam Fii Dzillaalil Quran, kalimat itu memperkuat makna kehalalan yang disebutkan dalam ayat sebelumnya dan pada ayat ini sendiri. Tetapi fokus dari penguatan kalimat tersebut adalah yang terkait dengan masalah makanan, karena perkara halal-halam yang dibahas dalam rangkaian ayat-ayat tersebut adalah tentang jenis-jenis hewan yang boleh dimakan.
Salah satu yang boleh dimakan itu adalah hewan sembelihan kalangan yang diberi kitab (alladziina uutul kitaab) atau lazim disebut Ahlul Kitab, yakni para pemeluk agama Yahudi dan Nasrani. Dalam konteks pembahasan itulah kemudian Allah menurunkan potongan ayat ini.
Takhsis Ibnu Katsir menceritakan, sebelum turunnya ayat ini, para shahabat tidak ada yang mau mengawini perempuan Ahlul Kitab karena taat pada perintah Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 221: "Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman". Dalam al-Qur'an surat at-Taubah ayat 30-31 Allah menegaskan, kalangan Ahlul Kitab termasuk golongan musyrik karena menjadikan sapi (Yahudi) dan Nabi Isa (Kristen) sebagai sesembahan.
Setelah turunnya ayat 5 surat al-Maidah, ada beberapa shahabat ada yang melakukannya. Mereka menganggap ayat pelarangan tersebut ditakhsis (dikhususkan) oleh ayat pembolehan ini.
Syekh Abdullah bin Baz, sejalan dengan Ibnu Taimiyah, menjelaskan makna takhsis tersebut dengan mengatakan bahwa Ahlul Kitab melakukan tindakan syirik bil fi'li (perbuatan) tapi al-Qur'an tidak menyebut mereka secara langsung sebagai musyrik bil ismi (status). Pembedaan yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 1 tersebut, didukung bunyi zhahir (eksplisit) ayat ini yang terang-terang membolehkan nikah dengan wanita Ahlul Kitab, menjadi landasan hukum dalam ilmu fiqih, bahwa menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani memang halal. Itulah kesepakatan jumhur ulama, termasuk ulama dari kalangan mufassir (ahli tafsir).
Hanya saja, agar tidak salah dalam memahami dan menerapkan hukum, perlu dipahami bahwa pembolehan itu tidak serta merta berhenti begitu saja, melainkan ada keterangan vital yang menyertainya. Yakni yang terkait dengan konteks dan status turunnya ayat serta proses dan metode penafsirannya.
Tanpa menyertai hal-hal itu, praktek menikahi wanita Ahlul Kitab menjadi tidak sah, sebab bunyi pembolehan dalam ayat itu satu paket dan terikat dengan keterangan-keterangan yang menyertainya.
Khilafah Islamiyyah sebagai Syarat Yusuf Qaradhawi, sebagaimana Sayyid Quthb, mengemukakan, pembolehan Allah itu terkait dengan konteks keberadaan ummat Islam ketika itu yang sudah berada dalam sistem Khilafah Islamiyyah, di mana stuktur sosial budayanya sudah betul-betul terwarnai oleh nilai-nilai Islam secara kaffah. Demikian pula dengan hukum yang berlaku yakni supremasi hukum Allah Swt. Sehingga kalau pun terjadi pernikahan dengan kalangan Ahlul Kitab, mereka akan tetap berada dalam pengaruh warna Islam dalam segala aspek kehidupannya.
Penjelasan itu diperkuat dengan bunyi kalimat di awal ayat yakni al-yauma yang artinya `pada hari ini'. Penyertaan kalimat itu bukan tanpa maksud, melainkan ada tujuannya. Yakni untuk menegaskan situasi dan konteks turunnya ayat bahwa pada saat itu kondisi masyarakat Islam sudah sangat kuat. Selain itu, status ayat ini juga tidak boleh dilupakan. Qaradhawi mengatakan hukum mudah atau halal dalam ayat ini statusnya adalah sebagai hukum asal yang sifatnya global. Dengan demikian jika ayat itu akan diterapkan maka harus merujuk pada keterangan konteksnya yang bersifat khusus seperti dijelaskan di atas.
Tafsir Integral Hukum menikahi wanita Ahlul Kitab, sebagai masalah fiqih mengambil sumber dari al-Quran dan Sunnah. Dan untuk memahami penetapan hukum itu, para ulama merujuk pada tafsir. Namun ketika menafsirkan ayat ini, kebanyakan lebih dominan menggunakan pendekatan yang disebut fiqhul ahkam, yakni memahami ayat semata-mata dari sudut pandang hukum.
Padahal dalam menetapkan suatu hukum dalam ilmu tafsir berlaku juga pendekatan yang disebut fiqhul adabil ijtima'i, yakni memahami ayat dari sudut pandang budaya dan sosial, termasuk di dalamnya fiqhud da'wah, fiqhud daulah dan fiqhus siyasah.
Pendekatan fiqhul ahkam bukan segala-galanya karena tidak semua yang boleh itu bisa dilakukan mentah-mentah begitu saja tanpa melihat kondisinya. Contohnya poligami. Hukumnya asalnya halal, tapi bisa menjadi haram kalau terjadi kezaliman atau dosa.
Demikian pula halnya dengan menikahi Ahlul Kitab. Qaradhawi, mengemukakan dari sudut pandang pendekatan ini, bahwa hal itu harus dicegah untuk menghindari berbagai mafsadah (kerusakan) dan madharat (bahaya) bagi kaum muslimin. Pandangan yang didasarkan oleh tafsir dengan pendekatan kritis itu dikemukakan dengan sejumlah persyaratan.
Pertama, wanita Ahlul Kitab yang dimaksud al-Qur'an adalah yang secara garis besar betul-betul mau beriman kepada Allah, kerasulan Nabi Muhammad, bukan yang atheis atau agnostis (tidak peduli agama) sebagaimana kebanyakan mereka.
Kedua, mereka menjaga kehormatannya (al-muhshanaatu) sesuai dengan syarat yang diminta al-Qur'an. Para mufassir mengartikan istilah itu sebagai al-haraairu, wanita merdeka (bukan budak) dan wanita yang bersih dari perbuatan zina. Konteksnya untuk saat ini adalah wanita yang menjaga kesucian diri dan auratnya. Tapi faktanya sekarang sudah jarang sekali ditemukan yang seperti itu.
Umumnya gaya hidup mereka adalah yang sudah bebas nilai. Jangankan menutup aurat, keperawanan saja sudah banyak yang dibuang-buang.
Ketiga, syarat wanita Ahlul Kitab yang dikehendaki al-Qur'an adalah yang termasuk kategori dzimmiyyah, yakni yang tunduk dalam naungan kekuasaan dan masyarakat Islam, bukan yang harbiyyah (memusuhi ummat Islam). Qaradhawi mengutip pendapat Ibnu Abas yang membedakan dua macam wanita Ahlul Kitab dan mengharamkan yang berasal dari harbiyyah.
Abu Bakar ar-Razi al-Hanafi cenderung menguatkan pendapat itu dengan mengemukakan firman Allah,
"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya" (Al-Mujadilah: 22). Pendapat serupa diriwayatkan pula oleh Imam Syafi'i dan Ali bin Abi Thalib. Intinya adalah, Ahli Kitab yang menjadi penduduk darul Islam berbeda dengan yang bukan penduduk darul Islam. Yang boleh dinikahi adalah yang pertama.
Kenyataannya sekarang, dimana ada Yahudi dan Nasrani yang tidak memusuhi Islam dan ummatnya? Faktanya di berbagai negeri muslim mereka melakukan penindasan dan atau memurtadkan kaum Muslimin dengan program kristenisasi global mereka.
Dimana pula ada wilayah yang Islam berkuasa secara semestinya dan menundukkan Ahlul Kitab? Faktanya, mayoritas kaum Muslimin hidup di bawah sistem negara sekuler. Mereka lemah dan tidak punya kekuasaan yang berarti karena pemimpinnya, undang-undangnya, sistem sosialnya dan lain-lain bukan berasal dari Allah.
Keempat, syarat untuk perkara yang mubah adalah tidak boleh menimbulkan fitnah, kerugian dan bahaya baik buat diri sendiri (dhiraara) maupun orang lain (dharara). Perkawinan dengan Ahlul Kitab, menurut Qaradhawi bisa menimbulkan madharat.
Antara lain munculnya kebiasaan kawin campur (beda agama), karena perkawinan itu menjadi preseden (contoh) buruk bagi masyarakat, sehingga mereka mengabaikan pertimbangan agama. Akibatnya para muslimah banyak yang terhambat peluang jodohnya.
Inilah yang pernah diwasiatkan oleh Umar bin Khaththab. Diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Al-Hasan dalam kitabnya al-Atsar, ketika sampai berita kepada Umar tentang pernikahan Shahabat besar Huzhaifah Al-Yamani dengan wanita Yahudi di Madain, ia mengirim surat yang memintanya menceraikan wanita itu.
"Aku khawatir langkahmu akan diikuti oleh kaum Muslimin sehingga mereka memilih kawin dengan ahli dzimmah karena cantiknya, hal itu cukup menjadi fitnah bagi wanita Muslimah," tulis Umar. Hal yang sama dilakukannya terhadap Thalhah bin Ubaidilllah. Padahal wanita yang dinikahi adalah anak seorang pembesar Yahudi.
Larangan serupa pernah pula dilakukan oleh shahabat terkemuka Ibnu Umar dengan mengatakan, "Saya tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa."
Mengapa Allah Membolehkan? Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan ini secara pasti. Wallahua'lam bishawab. Tapi ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Pertama, Allah ingin menunjukkan bahwa tauhid adalah sesuatu yang paling utama. Sehingga agama yang masih memiliki hubungan tauhid walau cuma secara historis, diberi tempat khusus. Sebaliknya yang tidak memiliki asal tauhid tegas-tegas dilarang untuk menjalin ikatan perkawinan.
Kedua, ketentuan itu sebetulnya hanya bertujuan untuk sekedar menunjukkan toleransi dalam rangka menarik kembali Ahlul Kitab kepada tauhid yang murni. Buktinya pembolehan itu tidak berlaku bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan laki-laki mereka. Ini pemahaman yang paling otentik jika dilihat dari sikap al-Qur'an secara keseluruhan terhadap Ahlul Kitab yang mencap mereka sebagai kaum kafir.
Artinya ayat ini bukan untuk menjadikan nikah beda agama sebagai budaya karena bertentangan dengan semangat Islam yang menjadikan perkawinan sebagai sarana untuk iqomatisyari'atillah (menegakkan syari'at Allah) yang salah satu maksudnya (maqashidusysyari'ah) adalah untuk menjaga agama Islam (hifzuddin). Apalagi hal ini juga hampir jarang terjadi dan tidak populer di kalangan ulama dan ummat Islam sejak dulu. Memang ada intelektual Islam yang membolehkan Muslimah menikah dengan laki-laki Yahudi dan Nasrani bahkan antar seluruh agama, dengan memperluas cakupan makna Ahlul Kitab. Mereka beralasan Rasulullah saja menikahi seorang wanita Kristen Koptik. Tapi pendapatnya tidak berdasar, lemah dan ditolak oleh jumhur ulama karena al-Qur'an secara konsisten menggunakan istilah Ahlul Kitab hanya untuk penganut Yahudi dan Nasrani. Dalam Sirah juga tidak ada yang membenarkan tuduhan mereka.
Ketiga, ayat ini justru menunjukkan bahwa menikah dengan Muslimah adalah lebih prioritas karena kalimat sebelum pembolehan nikah campur adalah menikah dengan wanita mu'min yang menjaga kehormatannya. Itu menunjukkan bahwa masalah ini porsinya sangat kecil dan tidak terlalu penting dalam Islam.
Keempat, masalah ini erat kaitannya dengan keimanan karena ayat ini ditutup dengan ancaman bagi yang keluar dari rel iman. Artinya, dalam pernikahan, yang pertama harus diperhatikan sebelum ikatan dengan manusia adalah ikatan dengan Allah.• (Deka Kurniawan)
*) Dikutip dari Hidayatullah.com Edisi Agustus 2002
*****
*************************
Created at 1:59 PM
*************************
Kasus ini sekarang ini banyak terjadi, pasangan yg ingin menikah tetapi beda agama (yang satunya muslim). Tersirat di benak saya fakta2 yang saya jumpai, bahwa ada misi dakwah agama diluar Islam melalui perkawinan. Umumnya si pria yang non muslim.
Kasus pertama, keduanya tetap pada agama masing2. Kasus kedua, si prianya masuk Islam tapi setelah menikah dan mempunyai anak dia balik keagamanya semula, yang terjadi malah sebaliknya bukan hanya anak2nya saja yang ditarik tapi si istripun kadang malah pindah menjadi murtad.
Dari kedua kasus ini akan menghasilkan generasi2 non muslim dari orang tua yang tadinya muslim. Wallahu'alam bagaimana nantinya kasus teman akhi Amirul, tapi sebaiknya ini juga dijadikan bahan pertimbangan.
Ada juga komentar orang yang mengatakan bahwa ada contoh2 suami istri yang berbeda agama tapi hidup mereka bahagia. Bagi mereka yang tidak menomorsatukan agama dalam hidupnya (orientasinya hanya dunia) mungkin bisa saja suami istri ini hidup bahagia tapi hanya bahagia di dunia, yang cuma sebentar. Kebahagiaannya di akhirat sudah hangus diganti dengan kesengsaraan karena melanggar larangan Allah menikah dengan orang musyrik. Padahal akhiratlah kehidupan yang sebenarnya, yang kekal abadi, tujuan dari kehidupan seorang manusia.
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." (QS. Al-Baqaroh :221).
Wassalam
Hanifa Koleksi Diskusi Isnet (Oktober 1997)
*****
*************************
Created at 1:54 PM
*************************
Hukum Menikahi Wanita Ahlu Kitab oleh : Syaikh Hasan Khalid
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat :
Jumhur (maryolitas) ulama membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahlul kitab, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
Firman Allah Subhaanahu wa Taala dalam surat al- Maidah: Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (Q.S al-Maidah: 5) Dan al-Qotaadah berkata tentang ayat ini: Allah Taala telah mengahalkan untuk kita dua wanita yang terjaga, yang wanita yang terjaga dari kalangan mu’min dan wanita yang terjaga dari kalangan ahlul Kitab. Wanita-wanita muslimah haram untuk laki-laki ahlul Kitab dan wanita-wanita ahlul kitab halal bagi laki-laki muslim. Dan ayat ini sebagai pengkhususan dari ayat yang ada dalam surat al-Baqarah ayat: 221.
Hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir dari Jabir bin Abdillah: Kami menikahi wanita-wanita ahlul Kitab dan laki-laki ahlul Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami.
Karena Ahul Kitab merupakan golongan tersendiri dari orang-orang musyrik dan orang-orang kafir. Dan dengan kesyirikan dan kekafiran yang mereka lakukan, tidak bisa disamakan dengan orang-orang yang pada asalanya termasuk orang-orang musyrik. Dan dasar pijakannya adalah Firman Allah dalam beberapa ayat ketika berbicara tentang orang-orang kafir menyebutkan orang-orang musyrik setelah orang-orang Ahlul Kitab. Dan ungkapan seperti ini menunjukkan perbedaan mereka. Sebagaimana dalam firman-Nya: Artinya: Orang-orang kafir yakni ahlul Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Q.S al-Bayyinah: 1) Allah Subhaanahu wa Taala juga berfirman: Artinya: Orang-orang kafir dari ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu..(Q.S al-Baqarah: 105)
Sebagian ulama mengaharamkan secara keras pernikahan semacam ini, dan dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:
Firman Allah Subhaanahu wa Taala: Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mumin lebih baik dari wanita musyrik..(Q.S al-Baqarah: 221) Dan secara konteks keumuman larangan di dalam ayat ini menyangkut orang-orang penyembah berhala dan ahlul Kitab. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu wa Taala: Artinya: Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putra Allahdan orang-orang Nashrani berkata: al-Masih itu putra Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling ?(Q.S at-Taubah: 30)
Bahwa ahlul Kitab yang di zaman sekarang tidaklah seperti ahlul Kitab di zaman Rasulullah, karena ahlul Kitab yang pada zaman sekarang ahlul Kitab akibat pemurtadan atau nenek moyang mereka secara asal bukan dari ahlil Kitab.
Dari argumentasi yang telah dipaparkan oleh dua kelompok di atas, maka pendapat yang paling kuat diantara pendapat yang ada adalah pendapat yang mengatakan bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi para wanita ahlul Kitab sebagaimana pendapat jumhur ulama. Dan hukum ini berlaku bagi setiap wanita yang perkataannya dan keyakinannya serta tuntunannya sesuai dengan perkataan dan keyakinan serta tuntunan ahlul Kitab.
Syarat Dibolehkannya Menikahi Wanita Ahlul Kitab
Meskipun para Ulama dan ahli Fiqh dikalangan kaum muslimin mengatakan bolehnya menikahi wanita ahli kitab secara mutlak dari kalangan Yahudi dan Nashrani sebagaimana yang termaktub dalam al-Quranul Karim, namun tidak mengenyampingkan perlunya peringatan dan penjelasan bagi kaum muslimin bahkan setiap muslim yang menghendaki pernikahan semacam ini kecuali dalam kondisi tertentu seperti telah memilikin aqidah yang kuat (lurus dan benar), memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan syariatnya, senantiasa berusaha mengaplikasikannya dan membiasakannya (dalam kehidupan sehari-hari). Kalau tidak demikian maka para Ulama menganggap pernikahan yang semacam ini tidak disukai dan haram hukumnya. Hal ini dikarenakan nikahnya seorang muslim dengan wanita ahlul kitab, sementara aqidah dia tidak kuat, bodoh terhadap hukum-hukum syariat Islam, dan cenderung menyelisihi dari jalan yang benar menjadikan sebab dia binasa, juga keturunannya dan keluarnya mereka dari Islam seperti lepasnya busur panah dari sarangnya.
Maka dalam kondisi dan keadaan seperti ini para Ulama mengutamakan pernikahan seorang muslim yang seperti ini dengan wanita muslimah yang memiliki agama yang kuat, dan yang demikian berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam:
Artinya: .....pilihlah wanita yang beragama, kalau tidak niscaya kamu akan celaka. (al-Hadits).
Dan karena yang demikian juga dapat menjamin lurusnya aqidah seseorang, selamat agamanya, keluarganya bahagia, perkembangan anak-anaknya baik dalam naungan Islam.
Wallahu alam ibnu yasin
*************************
Created at 1:41 PM
*************************
Pernikahan agama jika yg laki-laki non muslim dan yg perempuan adalah muslimah maka hukumya haram menurut semua ulama. Dan Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk dapat menguasai orang-orang beriman (An-Nisaa: 141).
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS 2:221).
Oleh sebab itu Jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim, baik itu berasal dari kaum musyrik maupun ahli kitab, hukumnya bathil. Dan karena itu pernikahan tersebut tidak berakibat hukum apapun. Tidak sebagaimana halnya nikah yang shohih/sah. Sedangkan pernikahan yang sah mempunyai akibat-akibat hukum tertentu. Sedangkan hubungan badan yg dilakukan adalah sederajat dg zina. Di samping itu pernikahan tersebut tidak dapat menjadi sebab untuk saling mewarisi baik antar suami istri tersebut, maupun anak-anak mereka.
Adapun jika sebaliknya, laki-laki muslim dan wanitanya non muslimah maka ada dua kategori :
1.Kalau wanita tersebut tidak termasuk ahli kitab maka haram.
2.Kalau wanita itu termasuk ahli kitab dan dalam pelaksanaannya mengikuti aturan Islam maka boleh pernikahan tersebut dijalankan, namun ada pebedaan pendapat apakah wanita ahli kitab masih ada / tidak di jaman sekarang. Apakah Yahudi dan Nasrani sekarang massih tergolong ahli kitab atau bukan. Untuk lebih detailnya silahkan anda tadabburi dan pelajari Tafsir QS 2:221.
Saran pribadi saya, kalau masih banyak wanita muslimah yg belum menikah mengapa harus mencari yg laen? Lebih baik kita mencari ibu bagi anak-anak kita yg sudah ready for use . Pilih musimah yang suddh mapan agamanya agar kita tidak kehabisan energi metarbiyahnya. Wallahu alam
Wassalamualaikum wr wb
M.Sofwan Jauhari Lc, M.Ag http://alhikmah.com
*****
*************************
Created at 1:36 PM
*************************
KotaSantri.com : Tumbuhnya budaya kosmopolitan di berbagai kota besar di dunia telah mengakibatkan lingkup dan gerak pergaulan antar manusia menjadi lebih luas, plural dan beragam. Pergeseran nilai yang disebabkan kondisi lingkungan tersebut berlangsung dengan lebih dinamis dibandingkan era-era lampau. Pergeseran nilai ini tidak hanya terjadi pada pakem-pakem non keagamaan yang tidak dogmatis, bahkan sekat-sekat keagamaan yang relatif rapat dan tertutup untuk kompromi menjadi sasaran untuk direlevansikan.
Gejala pergeseran bahkan perubahan nilai akibat budaya kosmo yang berfokus berat pada objek material, ternyata telah menjangkiti pula kalangan umat Islam. Salah satu buahnya adalah keberanian kalangan muslimin atau muslimat untuk memilih person-person non-muslim sebagai pasangan hidup, padahal gejala ini sudah barang tentu dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari konsep mainstream yang dianut masyarakat di negara dengan penduduk mayoritas Islam seperti Indonesia, hingga tak heran menimbulkan gejolak, reaksi keras sampai kelimbungan berpikir di kalangan masyarakat sekitar.
Dalam beberapa realitas pengalaman di kota-kota besar Indonesia akhir-akhir ini, pernikahan beda agama ini banyak terjadi justru di kalangan pemuda/pemudi Islam yang intelek dan memiliki pengetahuan keislaman yang lebih mapan dari rata-rata pemahaman kebanyakan orang Islam di Indonesia, meskipun ada juga separuh dari mereka berasal dari kalangan pemuda/pemudi Islam yang tumbuh besar di lingkungan keluarga yang sekuler atau kurang intensif membangun iklim keberagamaan secara kaffah dalam keluarganya.
Karena fenomena pernikahan beda agama itu ternyata banyak dilakukan oleh mereka yang dianggap khalayak di lingkungannya memiliki pemahaman lebih mendalam terhadap Islam dibandingkan rata-rata pemahaman umat, maka diperlukan sebuah usaha dini, semacam sparring idea, untuk kembali mengemukakan konsep syariat Islam yang jernih berkenaan dengan pernikahan beda agama yang melibatkan kaum muslimin wal muslimat. Pencerahan tersebut diawali dari pengumpulan asumsi yang mendukung serta asumsi yang menentang pernikahan beda agama di kalangan umat Islam untuk kemudian dikomparasikan dengan berbagai dalil agar seterusnya terbentuk sebuah bangun pikir atau ijtihad berlandaskan naluri fitrah, sehingga masalah pernikahan beda agama bisa disikapi secara jernih dan solusional di kalangan masyarakat Islam.
****
Mereka (umat Islam) yang melakukan dan mendukung pernikahan beda agama, memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama dan prediksi optimis terhadap bakal praktik berumah-tangga yang akan mereka tempuh sebagai pasangan berbeda agama.
Dalam sebuah situs diceritakan optimisme seorang pemuda muslim yang mempersunting gadis Konghucu. Argumen yang ia kemukakan sebagai niat yang melandasi tercetusnya pernikahan itu adalah : keyakinan secara teologis bahwasanya Islam membolehkan pernikahan seorang lelaki muslim dengan wanita non-muslim. Asumsi tersebut ia sandarkan pada firman Alloh SWT dalam Surat Al-Maaidah ayat 5 yang membolehkan pria muslim menikahi seorang wanita ahlul-kitab. Pemuda muslim itu beranggapan bahwa seorang Konghucu adalah juga ahlul-kitab, karena menurut pemahamannya siapapun yang percaya kepada Tuhan dan mempunyai kitab suci sebagai pegangan mereka beragama, maka mereka termasuk kedalam kategori ahlul kitab. Argumen kedua yang dikemukakannya adalah karena ia berhasrat untuk menguji kebenaran asumsi yang berkembang di masyarakat yang mengatakan bahwa pernikahan beda agama akan memunculkan banyak konflik atau ditengarai rentan perceraian. Di akhir paparannya ia bahkan menandaskan bahwa pernikahannya adalah sebuah eksperimentasi.
Menyimak surat Al-Maaidah ayat 5 dan sebuah hadits riwayat Ibnu Jarir dimana Rasulullah SAW bersabda : Kita boleh kawin dengan perempuan-perempuan ahlul kitab, tetapi mereka tidak boleh kawin dengan perempuan-perempuan kita., secara sekilas dapat disimpulkan bahwa seorang muslimah tidak boleh menikahi pria non-muslim dan seorang pria muslim tidak boleh menikahi seorang wanita musyrik/kafir, tetapi ia boleh menikahi seorang wanita ahlul kitab. K.H. Miftah Faridl, seorang ulama besar dari kota Bandung, mencegah umat Islam untuk lekas-lekas mengambil kesimpulan dari landasan kedua dalil naqli tersebut seperti disimpulkan diatas.
Menurut K.H. Miftah Faridl, berkenaan dengan rencana pernikahan seorang muslim, maka ia perlu mempertimbangkan ayat-ayat Al-Quran yang berisi cegahan atau larangan menjadikan seseorang dari kalangan non-muslim sebagai walijah dan bithanah (teman terpercaya yang tahu akan rahasia diri); atau suami/istri yang jelas-jelas posisinya lebih tinggi dari seorang walijah atau bithanah. Al-Mukarom, K.H. Miftah Faridl merujuk surat Ali Imran ayat 118, At-Taubah ayat 16, At-Tahrim ayat 6, An-Nisa ayat 34 dan Thaha ayat : 132 untuk dicermati kembali oleh seorang pria muslim sebelum ia memutuskan untuk melakukan atau mendukung pernikahan beda agama di kalangan kaum muslimin. Adapun berkenaan dengan seorang wanita muslim, cukup dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Ibnu Jarir yang dikemukakan sebelumnya, maka haram baginya menikah dengan seorang pria non-muslim. Larangan tersebut secara logis seharusnya bisa diterima, karena jika seorang pria non-muslim menikahi seorang wanita muslim, maka posisinya sebagai kepala keluarga akan memungkinkannya untuk memaksakan Istri dan anak mengikuti akidahnya yang bukan Islam.
****
Selain beberapa pertimbangan dalil yang dikemukakan diatas, faktor yang harus dipertimbangkan kemudian adalah konsekuensi praktikal di rumah tangga. Ada kekhawatiran jika seorang pria muslim menikahi seorang wanita non-muslim, maka anak-anaknya kemudian menjadi murtad. Hal itu disebabkan karena dalam keseharian seorang Istri lebih dekat dengan anak-anaknya, sehingga lebih mudah digugu, ditiru, dan otomatis lebih berpengaruh ketimbang suami. Bila sampai terjadi anak-anak mengikuti akidah Istrinya yang non-muslim, seorang Suami dapat dianggap gagal menjaga amanah Alloh SWT yang termaktub dalam surat Thaha ayat 132 yaitu : Dan suruhlah keluargamu untuk melakukan shalat dan peliharalah pelaksanaannya.. . Hal Itu berarti pula penyimpangan dari cita-cita sakinah, mawaddah, wa rahmah sebagai objektifitas utama tiap-tiap rumah tangga yang seharusnya diidamkan seorang muslim.
Akhirnya, untuk mensikapi berbagai mudarat yang kemungkinan besar timbul menyangkut keakidahan kita sebagai muslim jika kita menempuh pernikahan beda agama, alangkah lebih baiknya kita meletakkan perkara tersebut sebagai sebuah perkara syubhat yang meragukan dan sebaiknya dihindari. Berusahalah untuk terus istiqamah berikhtiar dan berdoa jika belum diperkenankan Alloh SWT mendapatkan jodoh buat dinikahi sebagai pendamping kita dalam menjalani hidup untuk selamanya. Percayalah bahwa Alloh SWT akan memberikan jodoh yang terbaik. Dan jika kita berusaha untuk menjadi umat-Nya yang shalih, maka jodoh yang kita dapatkan tentunya adalah pasangan hidup yang shalih atau potensial dishalihkan dimata Allah SWT. (abangedi)
*************************
Created at 1:11 PM
*************************
KAWIN KONTRAK | Tuesday, September 20, 2005
TRADISI KAUM SYI'AH
Dalam urusan nikah mut'ah Syi'ah memiliki banyak keburukan, kekejian, hal-hal yang menjijikkan dan kebodohan terhadap Islam. Mereka mengangkat nilai setiap keburukan dan meninggikan setiap yang kotor. Mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah (berupa zina) atas nama agama dan dusta terhadap para Imam. Mereka membolehkan semua yang mereka mau, mereka membiarkan nafsu tenggelam dalam kelezatan yang menipu dan kemungkaran-kemungkaran. Mut'ah adalah sebaik-baik saksi dan bukti, mereka telah menghiasi mut'ah dengan segala kesucian, keagungan dan keanggunan, hingga mereka menjadikan balasan pelakunya adalah surga Naudzubillah, mereka memperbanyak keutamaan keutamaan mut'ah dan keistimewaannya, seraya menyesatkan -sebagaimana lazimnya- orang orang yang mereka jadikan sebagai tawanan bagi ucapan-ucapan mereka yang dusta. Di antaranya ialah:
Al-Kasyani dalam tafsirnya, berbohong atas Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda, Telah datang kepadaku Jibril darl sisi Tuhanku, membawa sebuah hadiah. Kepadaku hadiah itu adalah menikmati wanita-wanita mukminah (dengan kawin kontrak). Allah belum pernah memberikan hadiah kepada para nabipun sebelumku, Ketahuilah mut'ah adalah keistimewaan yang dikhususkan oleh Allah untukku, karena keutamaanku melebihi semua para nabi terdahulu. Barangsiapa melakukan mut'ah sekali dalam umurnya, la menjadi ahli surga. Jika laki-laki dan wanita yang melakukan mut'ah berter di suatu tempat, maka satu malaikat turun kepadanya untuk menjaga hingga mereka berpisah. Apabila mereka bercengkerama maka obrolan mereka adalah berdzikir dan tasbih. Apabila yang satu memegang tangan pasangannya maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan bercucuran keluar dari jemari keduanya. Apabila yang satu mencium yang lain maka ditulis pahala mereka setiap ciuman seperti pahala haji dan umrah. Dan ditulis dalam jima' (persetubuhan) mereka, setiap syahwat dan kelezatan satu kebajikan bagaikan gunung-gunung yang menjulang ke langit. Jika mereka berdua asyik dengan mandi dan air berjatuhan, maka Allah menciptakan dengan setiap tetesan itu satu malaikat yang bertasbih dan menyucikan Allah, sedang pahala tasbih dan taqdisnya ditulis untuk keduanya hingga hari Kiamat." (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani)
Mereka juga berdusta atas nama Jafar Ash-Shadiq, alim yang menjadi lautan ilmu ini! dikatakan oleh mereka telah bersabda: Mut'ah itu adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Yang mengamalkannya, mengamalkan agama kami dan yang mengingkarinya mengingkari agama kami, bahkan ia memeluk agama selain agama kami. Dan anak dari mut'ah lebih utama dari pada anak istri yang langgeng. Dan yang mengingkari mut'ah adalah kafir murtad. (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.356)
Mereka juga berbohong atas nama Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda: 'Barangsiapa melakukan mut'ah sekali dimerdekakan sepertiganya dari api neraka, yang mut'ah dua kali dimerdekakan dua pertiganya dari api neraka dan yang melakukan mut'ah tiga kali dimerdekakan dirinya dari neraka.
Mereka menambah tingkat kejahatan dn kesesatan merea dengan meriwayatkan atas nama Rasulullah Shallallhu alaihi wasallam: "Barangsiapa melakukan mut'ah dengan seorang wanita Mukminah, maka seoloh-olah dia telah berziarah ke Ka'bah (berhaji sebanyak 70 kali).(Ujalah Hasanah Tarjamah Risalah Al Mut'ah oleh Al-Majlisi Hal.16).
Mut'ah, Rukun, Syarat dan Hukumnya
Fathullah Al-Kasyani menukil di dalam tafsirnya sebagai berikut, "Supaya diketahui bahwa rukun akad mut'ah itu ada lima: Suami, istri, mahar, pembatasan waktu (Taukit) dan shighat ijab qabul." (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.357)
Dia menjelaskan, "Bilangan pasangan mut'ah itu tidak terbatas, dan pasangan laki-laki tidak berkewajiban memberi nama, tempat tinggal, dan sandang serta tidak saling mewarisi antara suami-istri dan dua pasangan mut'ah ini. Semua ini hanya ada dalam akad nikah yang langgeng," (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.352)
Syarat-syarat Mut'ah
Perkawinan ini cukup dengan akad (teransaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut'ah) tanpa ada para saksi!
Laki-laki terbebas dari beban nafkah!
Boleh bersenang-senang (tamattu') dengan para wanita tanpa bilangan tertentu, sekalipun dengan seribu wanita!
Istri atau pasangan wanita tidak memiliki hak waris!
Tidak disyaratkan adanya ijin bapak atau wali perempuan!
Lamanya kontrak kawin mut'ah bisa beberapa detik saja atau lebih dari itu!
Wanita yang dinikmati (dimut'ah) statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak!
Abu Jafar Ath-Thusi menukil bahwa Abu Abdillah Alaihis-Salam (Imam mereka yang di anggap suci) ditanya tentang mut'ah apakah hanya dengan empat wanita?
Dia menjawab, "Tidak, juga tidak hanya tujuh puluh."
Sebagaimana dia juga pernah ditanya apakah hanya dengan empat wanita?
Dia menjawab, "Kawinlah (secara mut'ah) dengan seribu orang dari mereka karena mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya wanita sewaan."(At-Tahdzif oleh Abu Jafar Aht-Thusi, Juz III/188)
Mereka menisbatkan kepada imam keenam. yang ma'shum dia bersabda, "Tidak mengapa mengawini gadis jika dia rela tanpa ijin bapaknya." (At-Tahdzif Al-Ahkam juz VII/256)
Mereka menisbatkan kepada Jafar Ash-Shadiq, dia ditanya, "Apa yang harus, saya katakan jika saya telah berduaan dengannya?" Dia berkata, engkau cukup mengatakan ,aku mengawinimu secara mut'ah (untuk bersenang-senang saja) berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, tidak ada yang mewarisi dan tidak ada yang diwarisi, selama sekian! hari.Jika kamu mau, sekian tahun, Dan kamu sebutkan upahnya, sesuatu yang kalian sepakati sedikit atau banyak.(Al-Furu Min Al Kafi Juz V/455)
Demikianlah kawin mut'ah dalam agama Syi'ah yang dengannya mereka menipu orang-orang bodoh dari kalangan orang-orang yang awam, seraya menyihir mata mereka dengan berbagai macam atraksi sulap dan sihir serta, mengada-ada ucapan dusta, atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Bantahan terhadap Kebolehan Mut'ah
Sesungguhnya nikah mut'ah pernah dibolehkan pada awal Islam untuk kebutuhan dan darurat waktu itu kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengharamkannya untuk selama-lamanya hingga hari Kiamat. Beliau malah mengharamkan dua kali, pertama pada waktu Perang Khaibar tahun 7 H, dan yang kedua pada Fathu Makkah, tahun 8 H.
Mereka [Syiah sendiri] meriwayatkan bahwa Ali berkata, "Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengharamkan pada Perang Khaibar daging himar jinak dan nikah mut'ah." (At-Tahdzif Juz II/186) Riwayat inipun terdapat dalam sahih Bukhari. Maka semakin jelas tentang agama mereka yang dibangun atas dasar rekayasa, ucapan mereka bertentangan satu sama lain. Maka kami membantah kalian wahai Syiah !!, dengan kitab-kitab kalian sendiri.
Ini adalah salah satu sebab yang membuat mereka berakidah taqiyah (berbohong). Padahal perlu diketahui bahwa dalam agama Syiah tidak boleh melakukan taqiyah dalam mut'ah, la taqiyyata fi al-mut'ah (tidak ada taqiyah dalam mut'ah).
Ali, Umar dan Ibnu Abbas Berlepas Diri
Kemudian, Umar tidak pernah mengatakan, "Mut'ah halal pada zaman Nabi dan saya melarangnya!" Tetapi mut'ah dulu halal dan kini Umar menegaskan dan menegakkan hukum keharamannya. Yang demikian itu karena masih ada orang yang melakukannya. Adapun dia mengisyaratkan bahwa dulu memang pernah halal, ya, akan tetapi beberapa waktu setelah itu diharamkan. Di antara yang menguatkan lagi adalah pelarangan Ali ketika menjadi khalifah.
Syi'ah tidak memiliki bukti dari Salaf Shalih kecuali dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhu, akan tetapi Ibnu abbas sendiri telah rujuk dan mencabut kembali kebolehannya kembali kepada pengharamannya, ketika di mengetahui larangan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dia (Ibnu Abbas) telah berkata : Sesungguhnya hal ini perlu saya jelaskan agar sebagian Syiah Rafidhoh tidak berhasil mengelabui sebagian kaum Muslimin. (Sunan Al-Baihaqi 318 100 ; muhammad Al-Ahdal, hal. 251-252)
Sebagaimana kitab Syiah sendiri menyebutkan keharamannya, dan Imam Syi'ah ke-enam [yang diangap suci dari kesalahan] telah berkata kepada sebagian sahabatnya : Telah aku haramkan mut'ah atas kalian berdua (Al-Furu min Al-Kafi 2 48).
Adapun dalil mereka dengan sebagian hadits-hadits yang ada pada kitab Shahih Ahlussunnah maka hadits-hadits tersebut telah dinasakh [dihapus hukumnya]. Hal ini menjadi jelas dari hadits-hadits yang datang mengharamkan setelahnya. Di antara yang menunjukkan mut'ah bukan nikah adalah mereka [syiah] memandang bahwa mut'ah boleh dengan berapa saja sekalipun seribu wanita. Ini adalah menyalahi Syariat yang hanya membolehkan [paling banyak] empat wanita.
Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi ''Asy-Syiah minhum alaihim ''
http://www30.brinkster.com
*************************
Created at 2:34 PM
*************************
Yazid bin Abdul Qadir Jawas
------------------------------------- KATA PENGANTAR
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.
Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya.
Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa'at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar'i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak.
Melalui risalah singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan menyelami tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Anda akan diajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan melelahkan.
Mestikah kita bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya lantaran sebuah pernikahan ..? Na'udzu billahi min dzalik.
Wallahu musta'an.
MUQADIMAH
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.
Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Al-Baqarah : 30). Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. 'Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON GHOLIIDHOO), sebagaimana firman Allah Ta'ala. "Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat". (An-Nisaa' : 21). Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.
Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta'ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya.
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (Ar-Ruum : 30). A. Islam Menganjurkan Nikah Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim). B. Islam Tidak Menyukai Membujang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras". Dan beliau bersabda :
"Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat". (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban). Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya .... Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda : "Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku". (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : "Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab". Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta'ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:
"Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui". (An-Nur : 32). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya : "Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya". (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhu). Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri. Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu pernah berkata : "Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan". (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul 'Arus hal. 20).
TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi). 3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
"Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim". (Al-Baqarah : 229). Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari'at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas : "Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui ". (Al-Baqarah : 230). Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal : a. Harus Kafa'ah b. Shalihah a. Kafa'ah Menurut Konsep Islam Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).
"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Al-Hujuraat : 13). Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka". (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175). b. Memilih Yang Shalihah Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur'an wanita yang shalihah ialah : "Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)". (An-Nisaa : 34). Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah : "Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya". Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat. 4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : "Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?" Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :"Ya, benar". Beliau bersabda lagi : "Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !". (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih). 5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
"Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?". (An-Nahl : 72). Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah. Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.
TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :
1. Khitbah (Peminangan) Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi : a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai. b. Adanya Ijab Qabul. c. Adanya Mahar. d. Adanya Wali. e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah). Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id Al-Khudri). SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN 1. Pacaran Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya "Berpacaran" terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari'at Islam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim). Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram. 2. Tukar Cincin Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)
3. Menuntut Mahar Yang Tinggi Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa'ul Ghalil 6, hal. 347-348).
4. Mengikuti Upacara Adat Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.
Sungguh sangat ironis...!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?". (Al-Maaidah : 50). Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta'ala : "Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". (Ali-Imran : 85). 5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa' Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa' Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam. Dari Al-Hasan, bahwa 'Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa' Wal Banin. 'Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : "Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu 'alaihi wa sallam melarang ucapan demikian". Para tamu bertanya :"Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?". 'Aqil menjelaskan :
"Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka 'Alaiykum" (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam". (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain). Do'a yang biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah : "Baarakallahu laka wa baarakaa 'alaiyka wa jama'a baiynakumaa fii khoir" Do'a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: 'Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do'a : (Baarakallahu laka wabaraka 'alaiyka wa jama'a baiynakuma fii khoir) = Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148). 6. Adanya Ikhtilath Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya. 7. Pelanggaran Lain Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.
KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
"Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". (Ar-Ruum : 21). Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla'an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda "kemelut" perselisihan dan percekcokan.
Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu "perceraian".
Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (Ali-Imran : 19).
"Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa". (Al-Furqaan : 74) Amiin. Wallahu a'alam bish shawab.
* Judul Asli = Konsep Perkawinan Dalam Isla
*************************
Created at 2:11 PM
*************************
|
|
welcome
hello
MENU
HOME
Cinta Ku
Cinta - Al- Qur'an & Hadist
Cinta - Artikel
Cinta - Berita
Cinta - Busana & Perkawinan
Cinta - Cerita
Cinta - Doa
Cinta - Kecantikan
Cinta - Kesehatan
Cinta - Liputan Khusus
Cinta - Masakan & Minuman
Cinta - Musik
Cinta - Muslimah
Cinta - Puisi
Cinta - Rukun Iman & Islam
Links
Archieve
July 2005[x] September 2005[x] June 2006[x]
|
|